Eksploitasi Sumber Daya Alam di Raja Ampat: Antara Surga Terakhir dan Ancaman Oligarki

Raja Ampat, yang kerap digambarkan sebagai "surga terakhir di bumi", menyimpan ironi di balik keindahan alamnya. Wilayah ini, yang kaya akan keanekaragaman hayati laut, termasuk 75% spesies terumbu karang dunia, kini menjadi arena pertarungan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Praktik ekstraktivisme, khususnya pertambangan nikel, mengancam fondasi ekosistem dan kehidupan masyarakat adat.

Eksploitasi nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami hancur, mengancam keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada alam. Kerusakan terumbu karang, sedimentasi, dan pencemaran limbah beracun telah berdampak negatif pada kehidupan nelayan dan masyarakat adat.

Kerusakan ini bukan terjadi secara kebetulan. Ini adalah konsekuensi dari model ekstraktivisme yang berorientasi pada akumulasi modal tanpa batas, yang didorong oleh oligarki pertambangan. Pemerintah, yang seharusnya melindungi lingkungan dan masyarakat, justru memfasilitasi ekspansi industri pertambangan, seringkali mengeluarkan izin tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan hak-hak masyarakat adat.

Paradoks ini mencerminkan pergeseran peran negara dari pelayan publik menjadi agen kapital, di mana kepentingan oligarki pertambangan mendominasi kebijakan publik. Pendekatan ini dapat dipandang sebagai bentuk neokolonialisme domestik, di mana sumber daya alam strategis dimonopoli dan wilayah hidup masyarakat adat direduksi menjadi objek eksploitasi.

Praktik pertambangan nikel selama puluhan tahun tanpa pengawasan yang efektif telah menciptakan ketimpangan sosial yang mendalam. Nelayan harus melaut lebih jauh dan mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendapatkan hasil tangkapan yang semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bagaimana ekstraktivisme merusak kedaulatan pangan dan ekonomi lokal.

Sedimentasi akibat pengerukan tanah di pesisir telah merusak terumbu karang dan melemahkan fungsi ekosistem. Pencemaran limbah tambang mengganggu siklus biologis, menyebabkan kematian ikan, dan mengancam kesehatan masyarakat. Ini bukan hanya kerusakan lingkungan teknis, tetapi juga disfungsi sistemik yang memicu krisis ekologi dan sosial.

Dari sudut pandang sosial dan politik, keberadaan oligarki pertambangan menciptakan pola dominasi yang membatasi partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan wilayah mereka sendiri. Perubahan fungsi lahan, penguasaan sumber daya air, dan akses terhadap ruang hidup menjadi arena perebutan kekuasaan yang tidak seimbang.

Privatisasi air sungai sebagai sumber kehidupan dan produksi dalam wilayah tambang menunjukkan bagaimana logika pasar dan kepentingan modal mengambil alih hak-hak dasar masyarakat. Pengelolaan tambang yang eksploitatif memperkuat ketimpangan struktural dan menciptakan kondisi sosial yang rentan terhadap konflik dan marginalisasi.

Kegagalan pemerintah dalam mengendalikan industri pertambangan di Raja Ampat mencerminkan dominasi oligarki yang menjadikan sektor ini sebagai sumber pendapatan jangka pendek, tanpa mempertimbangkan biaya lingkungan dan sosial jangka panjang. Paradoks pembangunan muncul ketika promosi pariwisata berkelanjutan berjalan seiring dengan pembiaran aktivitas pertambangan yang merusak.

Pengalaman dari megaproyek industri pertambangan seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) relevan untuk memahami dinamika ekstraktivisme di Raja Ampat. Kedua kawasan ini menunjukkan dampak sosial dan ekologis yang serius akibat ekstraksi sumber daya alam yang masif.

Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah antisipatif di Raja Ampat, skenario serupa dapat terulang. Di IMIP dan IWIP, oligarki pertambangan mempraktikkan model kapitalisme ekstraktif yang mengabaikan hak masyarakat lokal dan merusak ekosistem. Privatisasi sumber daya vital, degradasi lingkungan, dan ketimpangan ekonomi menjadi ciri khas megaproyek ini.

Tanpa reformasi radikal dalam tata kelola sumber daya alam dan penguatan peran masyarakat, pertambangan akan terus menjadi alat penindasan ekologis dan sosial. Persoalan ekstraktivisme di Raja Ampat harus dilihat dalam konteks kekuasaan dan struktur politik yang memungkinkan oligarki pertambangan mempertahankan dominasinya.

Reformasi tata kelola sumber daya alam harus diarahkan pada pembongkaran oligarki pertambangan dan penguatan kontrol masyarakat adat melalui prinsip hak atas tanah dan lingkungan yang adil. Solusi yang efektif harus melibatkan transformasi struktural yang mencakup demokratisasi pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi kewenangan, dan pemberdayaan masyarakat adat.

Pengakuan kedaulatan masyarakat adat dan pengelolaan berbasis kearifan lokal menjadi kunci untuk membendung ekstraktivisme yang merusak. Raja Ampat menghadapi dilema besar: menjadi korban ekstraktivisme atau menjadi contoh sukses konservasi dan pembangunan berkelanjutan?

Solusi komprehensif dan berlapis diperlukan untuk menyelamatkan Raja Ampat. Pemerintah harus berani menolak perluasan pertambangan, menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, dan memberdayakan masyarakat adat. Tata kelola yang transparan dan demokratis harus dibangun, serta ekonomi alternatif yang berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan lokal harus dikembangkan.

Industri ekstraktif yang tidak mematuhi prinsip good mining practice seharusnya ditutup permanen. Gagasan ini bukanlah anti-investasi, melainkan koreksi atas arah pembangunan nasional. Raja Ampat harus menjadi simbol perlawanan terhadap ketamakan ekonomi yang mengorbankan bumi dan masa depan anak cucu.

Jika negara membiarkan logika ekstraktivisme melanjutkan penghancuran di Raja Ampat, maka negara gagal menjalankan mandat konstitusi. Sebaliknya, jika negara berani menegakkan aturan, Indonesia memilih untuk berdiri bersama bumi dan rakyatnya.