Silang Pendapat Pemerintah Pusat Soal Dampak Pertambangan Nikel di Raja Ampat
markdown
Pertentangan Data Pemerintah Soroti Industri Nikel di Raja Ampat
Kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah memicu perdebatan sengit di antara berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan yang sangat dilindungi. Kontroversi ini semakin memanas dengan adanya perbedaan temuan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai praktik pertambangan di wilayah tersebut.
Kementerian ESDM, melalui Dirjen Mineral dan Batubara, Tri Winarno, menyatakan bahwa tidak ada masalah signifikan dengan operasi pertambangan nikel di Raja Ampat. Pernyataan ini dikeluarkan setelah kunjungan ke lokasi pertambangan PT Gag Nikel di Pulau Gag bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Winarno mengklaim bahwa tidak ada sedimentasi yang terlihat di area pesisir dan secara keseluruhan, tambang tersebut dianggap tidak bermasalah. Meskipun demikian, Kementerian ESDM telah mengirim tim inspektur tambang untuk melakukan evaluasi menyeluruh di beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Raja Ampat. Evaluasi ini bertujuan untuk menentukan langkah selanjutnya terkait kegiatan pertambangan nikel di daerah tersebut. Hasil laporan dari inspektur tambang akan dievaluasi lebih lanjut untuk menentukan tindakan yang akan diambil.
Namun, pandangan yang berbeda datang dari Kementerian LHK. Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan pada akhir Mei 2024, KLHK menemukan berbagai pelanggaran serius yang dilakukan oleh empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Menteri LHK, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa pengawasan tersebut mengungkapkan pelanggaran signifikan terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil. Perbedaan temuan ini mengindikasikan adanya fokus penilaian yang berbeda antara kedua kementerian. Kementerian ESDM mungkin lebih memprioritaskan aspek produksi dan kepatuhan terhadap izin pertambangan, sementara KLHK lebih menekankan pada dampak lingkungan dan potensi pelanggaran peraturan lingkungan.
Empat perusahaan tambang nikel yang menjadi fokus pengawasan KLHK adalah PT Gag Nikel (GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Meskipun semua perusahaan ini memiliki izin usaha pertambangan, hanya PT GN, PT ASP, dan PT KSM yang memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).
KLHK menyoroti beberapa masalah spesifik yang ditemukan di masing-masing perusahaan:
- PT Gag Nikel: Beroperasi di Pulau Gag, yang merupakan pulau kecil dengan luas ±6.030,53 hektare (Ha). Aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. KLHK sedang mengevaluasi Persetujuan Lingkungan PT Gag Nikel dan berpotensi mencabut izinnya jika terbukti melanggar hukum.
- PT Anugerah Surya Pratama: Melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 Ha tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah larian. KLHK telah memasang plang peringatan untuk menghentikan aktivitas perusahaan. PT Anugerah Surya Pratama adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang terafiliasi dengan grup tambang asal China, Vansun Group.
- PT Kawei Sejahtera Mining: Terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 Ha di Pulau Kawe. Hal ini menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai. Perusahaan akan dikenakan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan dan berpotensi menghadapi gugatan perdata.
- PT Mulia Raymond Perkasa: Tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Seluruh kegiatan eksplorasi perusahaan telah dihentikan.