Sengketa Upah Berujung Maut: Tragedi Pembunuhan Mandor Perkebunan di Sukabumi Tahun 1890

Sengkarut Upah di Balik Pembunuhan Mandor Perkebunan Sukabumi: Catatan Kelam Era Kolonial

Senin pagi yang dingin, 17 Maret 1890, menjadi saksi bisu atas sebuah persidangan yang menggemparkan Hindia Belanda. Di ruang sidang Landraad, sebuah kasus pembunuhan menggantung di udara, melibatkan seorang pekerja kebun dan mandornya di sebuah perkebunan yang terletak di wilayah Sukabumi.

Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan "Moordzaak Munder" ini, membuka tabir gelap tentang sistem kerja paksa dan ketidakadilan yang merajalela di perkebunan-perkebunan era kolonial. Seorang pekerja kebun, yang namanya tidak disebutkan secara jelas dalam laporan Bataviaasch Nieuwsblad edisi 19 Maret 1890, didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap mandornya. Motif di balik pembunuhan ini terungkap dalam persidangan, dipicu oleh sengketa upah yang tak kunjung usai, rasa frustrasi akibat perlakuan tidak adil, dan yang paling utama adalah klaim pembayaran 200 gulden yang dianggap belum dilunasi.

Suasana persidangan dipenuhi ketegangan saat para saksi dihadirkan untuk memberikan keterangan. Kromo, seorang mandor yang bekerja di bawah pemilik perkebunan bernama Eckhout, memberikan kesaksian tentang pengalamannya menggarap lahan. Ia mengaku menerima bayaran sebesar 40 gulden, yang langsung digunakan untuk mengurangi utangnya kepada pemilik perkebunan. Saksi lain, Isak, juga menceritakan pengalaman serupa, namun ia menyerah karena pekerjaan yang terlalu berat dan tidak menuntut bayaran.

Namun, terdakwa memiliki pandangan yang berbeda. Ia bersikukuh bahwa dirinya telah menyelesaikan pekerjaan penting, yaitu mempersiapkan entrijs (batang tanaman untuk penyambungan/enten) dalam jumlah besar. Ia mengklaim telah menyiapkan bahan untuk 100.000 batang, terutama untuk area kebun Tjiwangie, dan menuntut pembayaran yang setimpal atas jerih payahnya.

Terdakwa mengungkapkan bahwa pekerjaan penyambungan batang tersebut merupakan kesepakatan rahasia antara dirinya dan Eckhout, yang tidak diketahui oleh banyak orang. Ia menegaskan bahwa pembayaran 200 gulden yang dimintanya bukan sekadar upah biasa, melainkan imbalan atas "rahasia teknik" yang tidak tercatat secara resmi. Pengakuan ini menambah kompleksitas kasus tersebut, menimbulkan pertanyaan tentang praktik-praktik tersembunyi di balik pengelolaan perkebunan.

Kesaksian Hall, administrator kebun Tjiwangie, memberikan perspektif yang berbeda. Ia menyatakan bahwa pekerjaan enten di kebunnya justru dikerjakan oleh orang lain, yaitu Tan Tjeng Leong, yang merupakan saudara dari terdakwa. Hall mengakui adanya pembayaran untuk pengerjaan batang pohon, tetapi tidak mengetahui keterlibatan terdakwa secara langsung. Kontradiksi dalam kesaksian ini semakin mempersulit upaya untuk mengungkap kebenaran di balik kasus pembunuhan ini.

Jaksa penuntut berusaha membuktikan bahwa klaim terdakwa tidak berdasar. Mereka menunjukkan bahwa tidak ada saksi atau catatan resmi yang mendukung klaim pembayaran 200 gulden tersebut. Bahkan, buku kas Eckhout tidak mencatat adanya transaksi atau pengakuan utang serupa. Bukti-bukti ini melemahkan posisi terdakwa dan memperkuat dugaan bahwa motif pembunuhan didasari oleh hal lain.

Setelah mendengarkan keterangan para saksi dan menimbang bukti-bukti yang ada, hakim memberikan waktu singkat untuk bermusyawarah. Putusan akhirnya dijatuhkan, menyatakan terdakwa bersalah atas pembunuhan dan menjatuhkan hukuman mati dengan cara digantung. Terdakwa menyatakan niatnya untuk mengajukan banding sebelum dibawa keluar dari ruang sidang.

Kasus pembunuhan Munder menjadi simbol ketidakadilan dan eksploitasi di era kolonial. Sengketa upah yang berujung pada hilangnya nyawa menjadi cermin buram dari sistem kerja paksa yang merugikan para pekerja perkebunan. Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya keadilan dan perlindungan hak-hak pekerja, serta perlunya transparansi dalam setiap transaksi ekonomi.