Tragedi Gunung Kuda: Mengungkap Dugaan Korupsi dan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pertambangan Jawa Barat
Tragedi longsor di tambang Galian C Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat, yang menelan 31 korban, dengan 21 di antaranya meninggal dunia dan 4 masih belum ditemukan, membuka tabir buram tata kelola pertambangan yang sarat masalah. Insiden ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan cerminan dari lemahnya pengawasan, dugaan maladministrasi, dan praktik transaksional yang berpotensi mengarah pada korupsi.
Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, mengungkapkan bahwa lokasi tambang tersebut memiliki izin atas nama Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah dan Kopontren Al Ishlah. Namun, izin tersebut bermasalah karena sejak tahun 2024, tambang tersebut beroperasi tanpa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang sah. Hal ini jelas melanggar Undang-Undang Minerba yang mewajibkan RKAB sebagai syarat mutlak untuk operasi produksi.
Dari sudut pandang geologis, kondisi Gunung Kuda memang rawan longsor. Badan Geologi Kementerian ESDM menyebutkan kemiringan tebing yang curam, mencapai lebih dari 45 derajat, serta metode penambangan undercutting menjadi faktor utama penyebab longsor. Analisis dari BRIN juga mengindikasikan potensi longsoran berupa rock fall, rock toppling, dan rock slide di area tersebut.
Lantas, mengapa risiko-risiko ini diabaikan? Jawabannya terletak pada lemahnya penegakan regulasi. Aspek lingkungan dan keselamatan kerja, yang seharusnya tertuang dalam AMDAL, RKAB, dan studi kelayakan, diduga kuat diabaikan. Ketiadaan atau pengabaian dokumen-dokumen ini merupakan indikasi kuat maladministrasi yang disengaja.
Maladministrasi ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pintu masuk bagi praktik korupsi yang lebih sistemik. Fakta bahwa aktivitas tambang tetap berjalan tanpa RKAB dan tanpa tindakan tegas dari instansi pengawas menimbulkan kecurigaan adanya pembiaran yang disengaja, yang mengindikasikan relasi transaksional yang tersembunyi.
Situasi ini memunculkan dugaan pelanggaran berupa gratifikasi atau suap, yang diatur dalam UU Tipikor. Jika kerugian negara dan korban jiwa terbukti berkaitan dengan pembiaran tersebut, maka Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor tentang memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum dengan merugikan keuangan negara dapat diterapkan.
Pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam harus fokus pada penyalahgunaan kewenangan, bukan hanya pada nominal kerugian negara. Jika seorang pejabat dengan sengaja membiarkan tambang ilegal beroperasi, yang mengakibatkan kematian dan kerusakan lingkungan, maka ia telah melakukan korupsi, bahkan tanpa transaksi uang tunai.
Gubernur Jawa Barat telah mencabut IUP tambang tersebut, namun langkah ini harus diikuti dengan tindakan represif oleh aparat penegak hukum. Penegakan hukum dapat dilakukan melalui UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Ketenagakerjaan, Pasal 359 KUHP, dan UU Tipikor.
Masalah ini tidak bisa disederhanakan hanya pada sentralisasi atau desentralisasi izin tambang. Akar masalahnya adalah pembiaran sistemik dan absennya pengawasan yang ketat. Kebijakan harus fokus pada pencegahan penyimpangan dalam proses perizinan.
Praktik "backing-membacking" dari oknum aparat penegak hukum memperburuk situasi, mengubah tambang ilegal menjadi seolah-olah legal melalui struktur administratif yang berlapis dan kolutif.
Pemerintah perlu merombak pendekatan hukum di sektor pertambangan. Penegakan hukum harus menyasar pelanggaran prosedur sebagai pintu masuk pembuktian korupsi. Tidak perlu menunggu aliran dana haram, tetapi membuktikan adanya penyalahgunaan kewenangan yang disengaja.
Kementerian ESDM harus mengevaluasi regulasi-regulasi yang memberi ruang kompromi moral dalam praktik tambang. Terlalu banyak peraturan teknis yang multitafsir, celah koordinasi antar-instansi yang lemah, dan prosedur perizinan yang menumpuk ketidakpastian hukum. Korupsi yang terselubung dalam aturan ini jauh lebih berbahaya karena menormalisasi penyimpangan.
Saatnya kita bertanya: siapa yang sedang kita lawan hari ini? Korporasi rakus? Oknum penegak hukum? Pejabat korup? Atau sistem yang sengaja dibuat pincang? Mari kita suarakan perubahan menyeluruh agar tragedi seperti di Gunung Kuda tidak terulang kembali.