Studi Ungkap Kebiasaan Begadang pada Individu Berpendidikan Tinggi Berpotensi Picu Penurunan Kognitif

Sebuah studi terbaru dari University of Groningen, Belanda, menyoroti potensi dampak kebiasaan tidur larut malam, atau night owl, terhadap fungsi kognitif, terutama pada individu dengan tingkat pendidikan tinggi. Penelitian ini, yang melibatkan analisis data dari lebih dari 23.000 orang dewasa berusia 40 tahun ke atas, menemukan korelasi antara kebiasaan begadang dan penurunan kemampuan kognitif seiring berjalannya waktu.

Para peneliti menggunakan data dari basis data kesehatan publik dan mencocokkan pola tidur partisipan dengan hasil tes kognitif yang disebut Ruff Figural Fluency Test (RFFT). RFFT digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif peserta selama periode 10 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa individu yang terbiasa tidur larut malam dan memiliki latar belakang pendidikan universitas mengalami penurunan kognitif yang lebih signifikan dibandingkan dengan kelompok lain.

"Pada kelompok dengan pendidikan tinggi, setiap peningkatan satu jam dalam kronotipe tidur malam hari berkorelasi dengan penurunan skor kognitif sebesar 0,80 poin per dekade," ungkap tim peneliti dalam publikasi mereka di Journal of Prevention of Alzheimer’s Disease.

Studi ini juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang diketahui mempengaruhi risiko demensia, seperti kualitas tidur dan kebiasaan merokok. Meskipun kedua faktor ini berkontribusi terhadap penurunan fungsi otak, pengaruhnya relatif kecil dibandingkan dengan dampak kebiasaan tidur larut malam. Aktivitas fisik, riwayat merokok di masa lalu, dan konsumsi alkohol tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan penurunan kognitif dalam konteks pola tidur.

Menariknya, hubungan antara kebiasaan begadang dan penurunan kognitif hanya terlihat pada kelompok dengan pendidikan tinggi. Pada kelompok dengan tingkat pendidikan rendah dan menengah, efek serupa tidak ditemukan. Para peneliti berspekulasi bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa individu dengan pendidikan tinggi seringkali memiliki jadwal kerja yang tetap, yang memaksa mereka untuk bangun pagi meskipun terbiasa tidur larut malam. Ketidaksesuaian antara ritme tidur alami dan tuntutan jadwal kerja ini dapat mengganggu proses pemulihan otak dan berkontribusi pada penurunan fungsi kognitif.

Selain itu, individu dengan pendidikan tinggi umumnya memiliki kapasitas kognitif awal yang lebih tinggi. Dengan demikian, penurunan kemampuan kognitif pada kelompok ini mungkin lebih mudah terdeteksi dibandingkan pada individu dengan kapasitas awal yang lebih rendah. Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung antara kebiasaan tidur larut malam dan penurunan kognitif. Ada kemungkinan bahwa faktor-faktor lain yang kompleks juga berperan dalam proses ini dan belum sepenuhnya dipahami.

Temuan ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kesehatan kognitif seiring bertambahnya usia. Dengan meningkatnya harapan hidup di seluruh dunia, jumlah penderita demensia diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan di masa mendatang. Organisasi kesehatan memperkirakan bahwa jumlah penderita demensia di seluruh dunia saat ini mencapai sekitar 57 juta orang, dan angka ini diprediksi akan lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050.

"Dengan meningkatnya usia harapan hidup dan populasi yang menua di seluruh dunia, menjaga kesehatan kognitif menjadi prioritas global yang mendesak," tegas para peneliti. Studi ini memberikan wawasan penting tentang potensi dampak jangka panjang dari kebiasaan tidur, terutama bagi individu yang secara aktif menggunakan kemampuan kognitif mereka dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.