Megawati Soroti Pemotongan Sejarah: Era Orde Baru Jadi Satu-satunya Referensi?
Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menyoroti adanya kecenderungan pemotongan sejarah bangsa, yang secara tidak langsung mengerdilkan narasi perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia hanya pada era Orde Baru. Kritik ini dilontarkan saat memberikan sambutan dalam acara pameran foto Guntur Soekarnoputra bertajuk 'Pameran Foto Gelegar Foto Nusantara 2025: Potret Sejarah dan Kehidupan' di Galeri Nasional, Jakarta Pusat.
Menurut Megawati, reduksi sejarah ini bermula sejak ditetapkannya TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Ia menyayangkan bahwa generasi muda saat ini seolah hanya mengenal sejarah Indonesia pasca-terbitnya TAP MPRS tersebut, mengabaikan peran penting Soekarno dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta mempersatukan NKRI.
"Menjadi Indonesia itu bukannya gampang," ujar Megawati, "tapi sekarang sepertinya sejarah itu hanya dipotong, diturunkan TAP (TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967) ini, lalu yang namanya sejarah itu hanya ketika zaman orde baru."
Megawati menekankan pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang sejarah Indonesia, termasuk peran Soekarno sebagai proklamator dan pemimpin bangsa di awal kemerdekaan. Ia bahkan menantang pihak-pihak yang tidak setuju dengan pandangannya untuk berdiskusi secara terbuka dengannya.
"Padahal, saya suka mengatakan, kalau memberi ceramah, saya ingin bilang, kalau ada yang tidak setuju angkat tangan, (sebut) nama, nomor telepon, nanti ketemuan sama saya," tegasnya. "Saya bisa menerangkan bahwa ini adalah aliran sejarah yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang seharusnya sebagai insan Republik ini, tahu apa dan bagaimana sejarah kita."
Untuk meluruskan kembali narasi sejarah yang dianggapnya terdistorsi, Megawati menyatakan bahwa dirinya tengah berupaya mengumpulkan para ahli sejarah. Tujuannya adalah untuk menyusun kembali sejarah Indonesia secara utuh dan komprehensif, sehingga tidak ada lagi pemotongan atau kekeliruan dalam pemahaman sejarah bangsa.
"Kita boleh berbeda, Bung Karno juga bilang begitu, malah dibuat namanya Bhineka Tunggal Ika, bermacam-macam, tapi satu jua. Tapi jangan, jangan sepertinya, terus ada bagian dari manusia Indonesia, sepertinya dibedakan," imbuhnya.
TAP MPRS 33/1967 sendiri merupakan salah satu dari serangkaian ketetapan MPRS yang dikeluarkan pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ketetapan ini mencabut kekuasaan Soekarno sebagai presiden, dengan alasan bahwa pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara yang disampaikan Soekarno tidak memenuhi harapan rakyat dan tidak memberikan pertanggungjawaban yang jelas mengenai G30S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak.
Meski demikian, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah secara resmi mencabut TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 pada 9 September 2024. Pencabutan ini dilakukan dengan penyerahan surat resmi oleh Ketua MPR RI saat itu, Bambang Soesatyo, kepada pihak keluarga Soekarno, yang menandakan bahwa TAP MPRS tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Kilas Balik TAP MPRS 33/1967
- Latar Belakang: Dikeluarkan pasca-G30S/PKI.
- Isi: Pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno.
- Alasan: Pidato Nawaksara Soekarno dianggap tidak memuaskan.
- Status: Dicabut oleh MPR pada 9 September 2024.
Implikasi
Pernyataan Megawati memicu perdebatan tentang interpretasi sejarah Indonesia dan perlunya peninjauan kembali materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Beberapa pihak mendukung pandangan Megawati dan menganggap bahwa sejarah Indonesia perlu ditulis ulang secara lebih inklusif, sementara pihak lain berpendapat bahwa TAP MPRS 33/1967 memiliki dasar yang kuat dan pencabutannya tidak serta merta menghapus catatan sejarah tersebut.