Esensi Kurban: Refleksi Spiritual dan Etika Sosial dalam Konteks Politik Kebangsaan

Setiap perayaan Idul Adha, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, kembali mengemuka. Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan, Idul Adha mengandung pesan mendalam tentang nilai-nilai transendental dan sosial yang relevan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam ranah politik.

Politik, dalam perspektif filsafat, melampaui sekadar perebutan kekuasaan. Ia adalah seni dan ilmu untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan bahagia. Al-Farabi, dalam karyanya Al-Madinah Al-Fadhilah, memandang politik sebagai jalan menuju kebajikan kolektif, di mana manusia saling bekerjasama untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kota ideal adalah komunitas yang saling membantu demi meraih kebahagiaan sejati, dipimpin oleh sosok yang bijaksana, adil, dan mampu mempersatukan masyarakat.

Idul Adha menawarkan makna istimewa dalam konteks ini. Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan latihan jiwa untuk melepaskan sebagian dari yang kita miliki demi kebahagiaan orang lain. Ini adalah wujud kedermawanan dan kemurahan hati, sebuah proses pembersihan jiwa dari egoisme untuk memberi ruang bagi nilai-nilai ilahiah.

Dalam pandangan sufistik, orang yang murah hati dekat dengan Tuhan, sesama manusia, dan surga. Mereka yang rela mengorbankan materi demi sesuatu yang nonmaterial mengaktualisasikan potensi rohani dalam dirinya. Kurban menjadi proses spiritual yang bertransformasi menjadi etika sosial-politik, yaitu kemampuan untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Sayangnya, semangat berkurban terasa semakin langka dalam politik modern, khususnya di Indonesia. Politik seringkali tereduksi menjadi permainan kekuasaan yang penuh intrik, kehilangan ruh pelayanan yang tulus. Hakikat kurban adalah kesediaan untuk melepaskan sesuatu yang dicintai, sebuah latihan jiwa untuk menjadi manusia yang lebih rendah hati dan bersyukur.

Kerendahan hati dan rasa syukur melahirkan rasa terima kasih yang tulus kepada sesama dan semesta. Masyarakat yang saling berterima kasih, bukan saling menyalahkan, adalah etos dasar kehidupan bermasyarakat yang ideal. Dalam masyarakat yang sehat, rasa terima kasih menjadi etos kerja warga negara.

Seorang pemimpin yang bekerja sepenuh hati, pengusaha yang menciptakan lapangan kerja, pekerja yang bekerja keras, guru yang mengajar tanpa pamrih, dan dokter yang merawat pasien, semuanya bergerak karena merasa berutang budi kepada sesama. Mereka menyadari bahwa hidup ini tidak bisa dijalani sendirian.

Rasa terima kasih menjadi perekat sosial dan bahan bakar peradaban. Kita berada dalam masa transisi pasca-pemilu. Momentum ini tepat untuk merenungkan makna kurban dalam politik: sanggupkah kita mengorbankan ego demi kepentingan bangsa? Beranikah kita menahan agresi politik demi keutuhan bersama?

Pertarungan politik telah usai, tetapi pengabdian untuk bangsa belum selesai. Kita perlu mengingat bahwa mereka yang berbeda pilihan politik juga mencintai bangsa ini, meskipun dengan cara yang berbeda. Memaknai kurban dalam konteks politik adalah tentang meredam ego, menundukkan ambisi, dan menjadikan Indonesia sebagai tujuan bersama, bukan alat belaka.

Kita tidak bisa berharap lahirnya masyarakat ideal secara instan. Namun, kita bisa mulai membentuk ruang-ruang sosial yang ditopang oleh kerja sama dan ketulusan, bukan kebencian. Idul Adha adalah momentum reflektif: sudahkah kita belajar berkorban, baik sebagai warga maupun sebagai pemimpin? Sudahkah kita menyadari bahwa politik bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi tentang siapa yang rela memberi, agar kebahagiaan bersama bisa tercipta?