Target 19 Juta Lapangan Kerja: Antara Realitas dan Tantangan Ekonomi Indonesia
Meskipun pemerintah terus berupaya menekan angka pengangguran melalui berbagai program, termasuk job fair, target ambisius penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun mendatang dinilai sejumlah ekonom menghadapi tantangan signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jutaan warga Indonesia masih berstatus pengangguran, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri memperburuk situasi ini.
Fenomena job fair yang diserbu puluhan ribu pencari kerja, seperti yang terjadi di Bekasi baru-baru ini, menjadi ironi tersendiri. Di satu sisi, menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat akan pekerjaan. Namun, di sisi lain juga memunculkan pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah untuk merealisasikan janji-janji kampanye terkait penciptaan lapangan kerja.
Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja, yang digaungkan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat debat Pilpres, kini menjadi sorotan. Gibran meyakini bahwa hilirisasi industri, pemerataan pembangunan, transisi energi hijau, pengembangan ekonomi kreatif, dan UMKM akan menjadi kunci untuk mencapai target tersebut.
Namun, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, pesimis dengan proyeksi tersebut. Ia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini tidak sejalan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dulu, setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja, namun kini angka tersebut jauh lebih rendah. Investasi yang masuk pun dinilai belum mampu mendongkrak kinerja sektor manufaktur, yang berujung pada deindustrialisasi dini.
Nailul memperkirakan, dengan laju penyerapan tenaga kerja saat ini, dalam lima tahun ke depan hanya sekitar 3 juta lapangan kerja yang bisa tercipta. Itupun, sebagian besar akan berada di sektor informal dengan minim perlindungan sosial.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, berpendapat bahwa target 19 juta lapangan kerja sebenarnya masih mungkin dicapai, asalkan pemerintah melakukan sejumlah perbaikan kebijakan. Ia menyoroti pentingnya peningkatan kualitas pendidikan sebagai kunci untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia agar mampu bersaing dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Esther juga menekankan perlunya pemberian insentif yang lebih besar untuk mendorong investasi di dalam negeri. Menurutnya, insentif yang saat ini diberikan pemerintah lebih banyak berorientasi pada konsumsi, seperti bantuan sosial dan subsidi, yang kurang efektif dalam menciptakan lapangan kerja jangka panjang.
Tantangan Mewujudkan Janji Lapangan Kerja
Berikut adalah poin-poin tantangan dalam mewujudkan janji lapangan kerja:
- Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata: Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata antar sektor dan wilayah menyebabkan ketimpangan dalam penciptaan lapangan kerja.
- Kualitas Sumber Daya Manusia: Kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja yang belum memadai menjadi hambatan dalam bersaing di pasar kerja.
- Investasi yang Kurang Produktif: Investasi yang masuk belum optimal dalam menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja di sektor manufaktur.
- Kebijakan yang Belum Mendukung: Kebijakan pemerintah yang lebih fokus pada konsumsi daripada investasi menghambat penciptaan lapangan kerja jangka panjang.
- Dominasi Sektor Informal: Sektor informal yang mendominasi pasar kerja menawarkan sedikit perlindungan sosial dan kepastian kerja.
Dengan berbagai tantangan yang ada, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan kebijakan secara komprehensif untuk mewujudkan target penciptaan 19 juta lapangan kerja. Fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, pemberian insentif investasi yang tepat sasaran, dan pengembangan sektor-sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja menjadi kunci keberhasilan.