Konflik Lahan Sawit Nunukan: PT TML dan Kelompok Tani Bersitegang, Menanti Keputusan Sidang Lapangan
Konflik Lahan Sawit Nunukan: PT TML dan Kelompok Tani Bersitegang, Menanti Keputusan Sidang Lapangan
Sengketa lahan perkebunan kelapa sawit antara PT Tunas Mandiri Lumbis (TML) dan dua kelompok tani, Mattiro Bulue dan Maju Taka, di Nunukan, Kalimantan Utara, memasuki babak baru. Konflik yang telah berlangsung sejak tahun 2007 ini menunjukkan peningkatan tensi, ditandai dengan saling klaim kepemilikan lahan dan ancaman jalur hukum dari kedua belah pihak. Persoalan ini bermula dari dugaan penggusuran lahan oleh PT TML yang diklaim telah dikelola oleh kelompok tani tersebut jauh sebelum perusahaan beroperasi. Kelompok tani, dengan dukungan bukti berupa program bantuan bibit sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan pemetaan lokasi oleh Pemda Nunukan, menuntut agar lahan seluas 13 hektare yang meliputi lahan Herman (8 hektare) dan Karman (5 hektare) dikembalikan, disertai kompensasi atas kerugian yang diderita.
PT TML, di sisi lain, bersikukuh bahwa lahan yang mereka garap telah dilengkapi perizinan lengkap, termasuk izin lokasi, izin clearing, dan izin Amdal. Namun, kelompok tani membantah klaim tersebut dengan alasan perusahaan belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Perbedaan persepsi ini semakin memperkeruh situasi. Dalam beberapa kali mediasi, PT TML bahkan mengklaim bahwa lokasi lahan yang dipermasalahkan kelompok tani berbeda dari lokasi yang sebenarnya mereka garap, sebuah pernyataan yang langsung dibantah oleh perwakilan kelompok tani. Kebuntuan perundingan ini telah mendorong kedua belah pihak untuk mengancam menempuh jalur hukum, saling tuding memiliki bukti kepemilikan lahan yang sah, serta saling melaporkan kasus pencurian hasil panen sawit ke pihak kepolisian. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya klaim de facto oleh PT TML atas lahan tersebut, yang dikontraskan dengan bukti kepemilikan yang diklaim oleh kelompok tani.
Pemerintah Daerah Nunukan, yang melihat eskalasi konflik yang semakin meningkat, akhirnya turun tangan. Langkah yang diambil adalah dengan rencana pelaksanaan sidang lapangan yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk perwakilan kelompok tani, PT TML, dan Dinas terkait. Sidang lapangan ini dijadwalkan setelah Hari Raya Idul Fitri untuk memastikan kebenaran kepemilikan lahan dan untuk mengkaji bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Hasil dari sidang lapangan ini diharapkan dapat menjadi dasar penyelesaian sengketa, baik melalui jalur damai maupun jalur hukum. Jika sidang lapangan gagal mencapai kesepakatan, maka kasus ini berpotensi berlanjut ke pengadilan dan berujung pada proses hukum yang panjang dan kompleks. Proses hukum ini akan meliputi pengujian bukti kepemilikan, termasuk analisis terhadap legalitas izin yang dimiliki PT TML dan bukti kepemilikan lahan yang diklaim kelompok tani, seperti bukti program bantuan bibit sawit dan pemetaan lokasi dari Pemda Nunukan.
Proses mediasi yang alot ini menyoroti pentingnya kejelasan tata kelola perizinan lahan dan perlindungan hak-hak petani di wilayah perkebunan. Konflik ini juga menjadi pengingat pentingnya peran pemerintah daerah dalam memastikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Langkah-langkah selanjutnya akan sangat menentukan nasib lahan yang disengketakan, dan juga akan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa mendatang. Pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses penyelesaian sengketa lahan ini menjadi sorotan utama bagi masyarakat Nunukan dan juga seluruh Indonesia.