Wacana Pengecilan Luas Rumah Subsidi: Antara Keterjangkauan dan Kelayakan Huni
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah menggodok rencana untuk merevisi standar luas minimum rumah subsidi menjadi 18 meter persegi. Inisiatif ini, yang digagas oleh Menteri PKP Maruarar Sirait, bertujuan untuk menekan harga jual rumah subsidi agar lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Rencana ini tertuang dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, yang mengusulkan luas bangunan minimal 18 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi, dengan luas tanah antara 25 hingga 200 meter persegi. Jika dibandingkan dengan aturan saat ini, Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, terdapat perbedaan signifikan pada luas minimum bangunan, yang sebelumnya ditetapkan 21 meter persegi dengan luas tanah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.
Ara, sapaan akrab Maruarar Sirait, menekankan bahwa pertimbangan utama bukan hanya soal ukuran, melainkan juga lokasi strategis dan reputasi pengembang. Ia mencontohkan, rumah dengan luas 60 meter persegi pun bisa menjadi tidak layak huni jika dibangun oleh pengembang yang tidak kompeten atau berada di lokasi rawan bencana. Menurutnya, kualitas pengembang dan lingkungan sekitar rumah sama pentingnya dengan luas bangunan.
Meskipun belum dapat memastikan besaran penurunan harga jika luas rumah diperkecil, Kementerian PKP membuka diri terhadap masukan dari para pengembang. Tujuannya adalah untuk mencari solusi terbaik dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau, terutama di tengah kenaikan harga tanah yang semakin membebani masyarakat.
Wacana ini menuai beragam reaksi dari berbagai pihak. Asosiasi Pengembangan dan Pemasaran Rumah Nasional (Asprumnas) mengkritik rencana tersebut, dengan menyatakan bahwa rumah seluas 18 meter persegi terlalu sempit untuk keluarga dengan anak. Mereka menilai rumah tipe ini lebih menyerupai gudang atau apartemen studio tanpa kamar yang layak.
Senada dengan Asprumnas, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) berpendapat bahwa rumah berukuran kecil lebih cocok untuk hunian sementara seperti apartemen, kontrakan, atau kos-kosan. Sementara itu, Realestat Indonesia (REI) mengingatkan pentingnya mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait standar minimal luas hunian yang layak. REI menyarankan agar rumah tipe 18 meter persegi lebih dipertimbangkan untuk konsep hunian vertikal.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam wacana pengecilan luas rumah subsidi:
- Tujuan: Menurunkan harga rumah subsidi agar lebih terjangkau.
- Usulan: Luas bangunan minimal 18 meter persegi, luas tanah minimal 25 meter persegi.
- Kritik: Dianggap terlalu sempit, tidak layak untuk keluarga.
- Alternatif: Lebih cocok untuk hunian vertikal atau sementara.
- Pertimbangan: Kualitas pengembang, lokasi, standar SNI dan WHO.
Kementerian PKP diharapkan dapat mempertimbangkan seluruh masukan dan kritik yang ada sebelum mengambil keputusan final. Keseimbangan antara keterjangkauan dan kelayakan huni menjadi kunci dalam mewujudkan program rumah subsidi yang tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat.