Tantangan Besar Menanti: Mewujudkan Janji 19 Juta Lapangan Kerja

Penciptaan 19 juta lapangan kerja, seperti yang dijanjikan, bukan perkara mudah. Pemerintah dihadapkan pada serangkaian pekerjaan rumah (PR) yang mendesak untuk dituntaskan. Para ahli ekonomi menyoroti beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan agar target ambisius ini dapat tercapai.

Salah satu fokus utama adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui investasi yang lebih besar di sektor pendidikan. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menekankan bahwa struktur pendidikan tenaga kerja Indonesia saat ini masih didominasi oleh tingkat pendidikan yang rendah. Di era digitalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, peningkatan keterampilan dan pengetahuan menjadi sangat penting agar tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dan beradaptasi dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.

"Era digitalisasi dan AI menuntut kita untuk terus meningkatkan kualitas tenaga kerja. Banyak pekerjaan lama yang hilang, namun juga muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan yang berbeda," ujar Esther.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif yang lebih besar untuk meningkatkan investasi dalam negeri. Insentif yang ada saat ini dinilai masih terlalu fokus pada konsumsi, sementara investasi yang produktif akan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan. Anggaran pendidikan juga perlu dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan keterampilan (upgrade skill) tenaga kerja, bukan hanya untuk program-program yang kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, bahkan meragukan target 19 juta lapangan kerja dapat tercapai dalam jangka waktu lima tahun. Ia berpendapat bahwa sektor ekonomi hijau, yang digadang-gadang sebagai salah satu sumber utama lapangan kerja baru, membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang dan menyerap tenaga kerja secara optimal.

"Berdasarkan data Celios, pengembangan ekonomi hijau dapat menyerap 19,4 juta tenaga kerja dalam 10 tahun, dan itu pun sudah sangat optimal. Namun, keinginan pemerintah untuk mengoptimalkan ekonomi hijau masih jauh dari kenyataan," jelas Nailul.

Lebih lanjut, Nailul menyoroti masalah pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal dalam menyerap tenaga kerja. Dulu, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% dapat menciptakan 400 ribu lapangan kerja. Namun, saat ini, angka tersebut menurun drastis menjadi hanya 100 ribu lapangan kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa investasi yang masuk tidak mampu meningkatkan kinerja manufaktur Indonesia, yang pada akhirnya menyebabkan deindustrialisasi dini.

Janji 19 juta lapangan kerja, yang dilontarkan dalam debat Pilpres, menjadi harapan bagi generasi muda dan kaum perempuan. Namun, mewujudkannya membutuhkan kerja keras, kebijakan yang tepat sasaran, dan koordinasi yang baik antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan. Sektor ekonomi hijau, hilirisasi industri, dan pengembangan UMKM menjadi kunci untuk mencapai target tersebut. Namun, tantangan yang ada tidak boleh diremehkan. Pemerintah perlu segera berbenah dan mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa janji tersebut tidak hanya menjadi janji kosong belaka.

Rincian Tantangan yang Harus Dihadapi:

  • Peningkatan Kualitas SDM: Investasi lebih besar dalam pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri.
  • Insentif Investasi: Mendorong investasi produktif yang menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.
  • Pengembangan Ekonomi Hijau: Mempercepat transisi menuju ekonomi hijau dan memastikan penyerapan tenaga kerja yang optimal.
  • Revitalisasi Manufaktur: Meningkatkan kinerja sektor manufaktur agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
  • Koordinasi Lintas Sektor: Membangun sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan.

Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia dapat membuka peluang kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.