Revisi RUU TNI: Koalisi Sipil Tolak Perluasan Peran Militer di Jabatan Sipil
Revisi RUU TNI: Koalisi Sipil Tolak Perluasan Peran Militer di Jabatan Sipil
Rencana revisi Pasal 47 Undang-Undang TNI yang tengah dibahas Komisi I DPR menuai kontroversi dan kecaman keras dari berbagai kalangan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari sejumlah organisasi hak asasi manusia terkemuka seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, dan LBH Jakarta, secara tegas menolak usulan perubahan tersebut. Kekhawatiran utama koalisi ini berpusat pada penambahan frasa yang dinilai berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan memperluas intervensi militer dalam pemerintahan.
Usulan revisi, yang tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah kepada Komisi I DPR, menargetkan Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI. Saat ini, pasal tersebut membatasi penempatan prajurit aktif hanya pada sepuluh kementerian dan lembaga tertentu, termasuk kantor yang membidangi koordinasi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretariat militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, telah mengkonfirmasi bahwa DIM tersebut termasuk revisi terhadap Pasal 47, Pasal 53 (mengenai usia pensiun), dan Pasal 3 (mengenai kedudukan TNI).
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil mengungkapkan adanya usulan penambahan frasa "serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden" pada ayat (2) Pasal 47. Koalisi menilai, penambahan frasa ini sangat berbahaya karena membuka peluang interpretasi yang longgar dan berpotensi menyebabkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga di luar yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini, menurut koalisi, akan mengancam prinsip supremasi sipil dan berisiko memicu dominasi militer dalam pengambilan kebijakan sipil.
"Penambahan frasa tersebut membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan melemahkan kontrol sipil atas militer," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataan tertulisnya. Mereka menekankan pentingnya menjaga batas yang jelas antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan untuk menjaga demokrasi dan stabilitas negara. Lebih lanjut, koalisi mendesak Komisi I DPR untuk mempertimbangkan secara matang implikasi dari revisi ini dan memprioritaskan prinsip supremasi sipil dalam proses legislasi.
Perdebatan mengenai revisi RUU TNI ini menunjukkan perlunya transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembuatan undang-undang. Komisi I DPR perlu mengadakan diskusi yang lebih komprehensif dan melibatkan berbagai pakar serta perwakilan masyarakat sipil untuk memastikan revisi ini selaras dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi I DPR dengan Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) pada Senin (10/3/2025), yang dihadiri oleh mantan Menteri Pertahanan dan Ketua Umum Pepabri, Agum Gumelar, isu ini juga menjadi sorotan. Namun, detail pembahasan dalam RDPU tersebut belum diungkapkan secara rinci.
Koalisi Masyarakat Sipil meminta pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan kembali usulan revisi Pasal 47 dan menghindari langkah-langkah yang berpotensi mengikis prinsip supremasi sipil dan melemahkan kontrol sipil atas militer. Mereka menekankan pentingnya menjaga profesionalisme TNI dan memastikan perannya tetap terfokus pada tugas pertahanan dan keamanan negara, tanpa intervensi yang berlebihan dalam urusan pemerintahan sipil.