Jimly Asshiddiqie Soroti Tantangan Pemakzulan Gibran di Tengah Dominasi KIM Plus di Parlemen
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menyoroti kompleksitas proses pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terutama dengan mempertimbangkan konfigurasi kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pernyataan ini muncul di tengah diskusi publik mengenai kemungkinan pemakzulan Gibran, yang didorong oleh beberapa elemen masyarakat sipil.
Jimly menekankan bahwa inisiasi proses pemakzulan di DPR akan menghadapi tantangan signifikan. Hal ini disebabkan oleh dominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang menguasai mayoritas kursi di parlemen. Untuk memulai proses pemakzulan, sidang pleno DPR harus dihadiri oleh minimal dua pertiga dari total anggota legislatif. Lebih lanjut, satu pertiga dari peserta sidang pleno harus menyetujui bahwa Gibran telah melakukan tindakan yang memenuhi kriteria pemakzulan, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi di DPR, maka proses pemakzulan tidak dapat dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Sekarang dua per tiga di DPR itu siapa? KIM Plus apa mau? Jadi, jangan tanya," ujar Jimly, mengisyaratkan bahwa dukungan politik yang kuat dari KIM Plus akan menjadi penghalang utama bagi upaya pemakzulan. Pernyataan ini disampaikan saat ditemui di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Ketua DPP PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, juga telah menyinggung mengenai kekuatan KIM Plus dalam konteks potensi pemakzulan Gibran. Ganjar menyatakan bahwa dengan komposisi kerjasama politik yang ada di KIM, proses pemakzulan tidak akan berjalan mudah. Hal ini menggarisbawahi bahwa konstelasi politik di DPR menjadi faktor penentu dalam kelanjutan wacana pemakzulan.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga telah mengirimkan surat kepada DPR dan MPR untuk memproses pemakzulan Gibran. Namun, Ganjar menekankan pentingnya bukti-bukti konkret yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh Gibran. Tanpa bukti yang memadai, sulit bagi DPR untuk merespons tuntutan pemakzulan. Ganjar berpendapat bahwa pernyataan saja tidak cukup, dan perlu adanya bukti yang dilampirkan agar DPR dapat mempertimbangkan tuntutan tersebut.
Secara ringkas, wacana pemakzulan Gibran menghadapi tantangan berat, terutama karena dukungan politik yang kuat dari KIM Plus di DPR dan perlunya bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan pelanggaran yang dituduhkan.