Gelombang PHK dan Tingkat Pengangguran Meningkat: Janji 19 Juta Lapangan Kerja Dipertanyakan
Kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia saat ini tengah menjadi sorotan tajam. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor industri dan tingginya angka pengangguran menimbulkan pertanyaan serius mengenai realisasi janji 19 juta lapangan kerja yang pernah digaungkan. Janji ini disampaikan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat masih berstatus sebagai Calon Wakil Presiden dalam sebuah debat Pilpres, yang menjanjikan terbukanya jutaan lapangan kerja melalui hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi energi hijau, ekonomi kreatif, dan UMKM.
Namun, data dan fakta di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara janji tersebut dengan realitas yang dihadapi para pencari kerja. Data terbaru menunjukkan bahwa ribuan pekerja telah terkena PHK, sementara jumlah pengangguran terus bertambah. Kondisi ini memicu kekhawatiran dan keraguan di kalangan masyarakat, terutama para generasi muda yang sangat mengharapkan adanya lapangan kerja yang layak.
Data PHK dan Pengangguran:
- Hingga Mei 2025, tercatat 26.455 kasus PHK di berbagai wilayah Indonesia, dengan Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau sebagai penyumbang angka tertinggi.
- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
- Meskipun ada penambahan angkatan kerja sebanyak 3,67 juta orang, hanya 3,59 juta orang yang berhasil mendapatkan pekerjaan.
Kondisi ini memicu berbagai tanggapan dari para ekonom dan pengamat. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti bahwa investasi yang masuk saat ini tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang signifikan. Ia menjelaskan bahwa dahulu, setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap ratusan ribu tenaga kerja, namun saat ini angka tersebut menurun drastis. Investasi yang masuk dinilai tidak mampu meningkatkan kinerja manufaktur Indonesia, yang mengakibatkan deindustrialisasi dini.
Nailul Huda juga mengkritisi perhitungan penciptaan 19 juta lapangan kerja. Menurutnya, dengan laju pertumbuhan ekonomi saat ini, sulit untuk mencapai target tersebut dalam waktu singkat. Ia memprediksi bahwa dalam 5 tahun, hanya sekitar 3 juta tenaga kerja yang dapat terserap, jauh dari angka yang dijanjikan. Bahkan, jika pun ada penyerapan tenaga kerja, kemungkinan besar hanya terjadi di sektor informal yang minim perlindungan sosial.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka PHK, terutama di industri manufaktur. Ia menyoroti ketergantungan industri manufaktur pada bahan baku impor. Ketika terjadi masalah global dan penguatan Dolar Amerika Serikat, biaya produksi meningkat. Kenaikan biaya produksi berdampak pada harga barang yang semakin mahal, sehingga permintaan pasar menurun. Pada akhirnya, perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, yang seringkali berujung pada PHK.
Esther Sri Astuti juga menekankan pentingnya alokasi anggaran untuk pendidikan dan investasi dalam menciptakan lapangan kerja baru. Namun, ia menilai bahwa pemerintah belum memprioritaskan kedua sektor tersebut. Ia menyoroti penurunan anggaran pendidikan dan pengalihan anggaran ke program lain, seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih, yang dinilai kurang efektif dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Ia menekankan bahwa selain akses pendidikan yang diperluas, peningkatan kualitas pendidikan juga sangat penting untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan siap bersaing di pasar global.
Faktor-faktor penyebab PHK:
- Masalah Global dan Penguatan Dolar Amerika Serikat
- Kenaikan Biaya Produksi
- Penurunan Permintaan Pasar
- Efisiensi Perusahaan
Upaya yang perlu dilakukan:
- Peningkatan Kualitas Pendidikan
- Investasi di Sektor Produktif
- Penciptaan Iklim Investasi yang Kondusif
- Pengembangan Sektor UMKM