Sumitronomics: Antara Janji Kemakmuran dan Potensi Oligarki

Era pasca-Pemilihan Presiden 2024 menghidupkan kembali diskursus tentang "Sumitronomics", sebuah konsep yang digadang-gadang akan menjadi landasan pembangunan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Diusung sebagai model pembangunan yang bertumpu pada peran aktif negara, industrialisasi, dan proteksi kepentingan nasional, Sumitronomics menjanjikan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di balik janji-janji tersebut, tersembunyi pula potensi risiko yang perlu diwaspadai.

Konsep Sumitronomics sendiri merujuk pada pemikiran Prof. Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom terkemuka yang menekankan pentingnya peran negara dalam mengarahkan pembangunan ekonomi. Gagasan ini menjadi antitesis terhadap dominasi neoliberalisme yang telah mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia sejak era Orde Baru. Sumitro percaya bahwa pasar tidak dapat bekerja secara optimal tanpa intervensi negara yang terencana dan terarah, dengan syarat adanya kepemimpinan yang berintegritas dan birokrasi yang kompeten.

Namun, realitas Indonesia saat ini menunjukkan bahwa prasyarat tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Tingkat korupsi yang masih tinggi, stagnasi reformasi birokrasi, dan maraknya konflik kepentingan menjadi tantangan serius dalam mewujudkan cita-cita Sumitronomics. Lembaga riset internasional bahkan menyoroti adanya kemunduran demokrasi di Indonesia, yang berpotensi memperburuk keadaan.

Dalam konteks ini, peran negara yang kuat dapat dengan mudah disalahgunakan untuk kepentingan segelintir elite. Alih-alih menjadi penggerak kesejahteraan, negara justru dapat menjadi mesin penguat oligarki yang melanggengkan kekuasaan ekonomi-politik. Pertanyaan krusialnya adalah, apakah Sumitronomics akan benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru menjadi tameng bagi kebijakan yang menguntungkan para penguasa?

Salah satu janji utama Sumitronomics adalah kebangkitan industrialisasi dan hilirisasi sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Secara prinsip, langkah ini patut diapresiasi. Namun, perlu dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan juga berdampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama para pekerja.

Faktanya, sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal dengan kondisi kerja yang rentan dan tanpa jaminan sosial. Bahkan di sektor formal, praktik kerja kontrak dan upah minimum masih menjadi standar. Hilirisasi yang digadang-gadang meningkatkan nilai tambah ternyata belum mampu mengatasi ketimpangan pendapatan yang semakin lebar. Sementara perusahaan dan investor asing menikmati keuntungan besar, para pekerja di sektor pertambangan dan industri pengolahan seringkali hanya menerima upah yang tidak sepadan.

Oleh karena itu, Sumitronomics harus lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja yang layak, perlindungan sosial, dan jaminan penghidupan yang memadai. Indikator keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi dan neraca ekspor, tetapi juga dari peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup seluruh rakyat Indonesia.

Di tengah koalisi politik yang semakin besar dan ruang partisipasi publik yang semakin sempit, terdapat kekhawatiran bahwa Sumitronomics hanya akan menjadi alat legitimasi politik tanpa disertai reformasi struktural yang mendasar. Sentralisasi kekuasaan, lemahnya oposisi parlemen, dan minimnya pengawasan terhadap program strategis nasional dapat menghasilkan kebijakan yang tidak adaptif dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Untuk menghindari hal ini, Sumitronomics harus bertransformasi dari sekadar retorika menjadi agenda reformasi kebijakan yang konkret dan terukur. Beberapa langkah mendesak yang perlu diambil antara lain:

  • Audit sosial dan fiskal terhadap semua proyek strategis nasional, khususnya hilirisasi, dengan fokus pada dampak terhadap pekerja, lingkungan, dan masyarakat setempat.
  • Penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi di daerah untuk mencegah praktik korupsi dan nepotisme yang dapat menghambat pembangunan.
  • Pemulihan ruang demokrasi partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, buruh, dan petani dalam merumuskan arah pembangunan jangka panjang.

Indonesia membutuhkan gagasan besar untuk mencapai kemajuan dan kemandirian ekonomi. Namun, gagasan tersebut harus diimplementasikan dengan keberanian, etika publik, partisipasi rakyat, dan keberpihakan kepada mereka yang paling membutuhkan. Sumitronomics dapat menjadi fondasi ekonomi nasional yang progresif dan berdaulat, asalkan tidak dikendalikan oleh elite yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan.

Keadilan sosial bukanlah sekadar wacana, melainkan tindakan nyata yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.