Gelora Bung Karno: Ikon Sepak Bola Indonesia dan Saksi Kejayaan Merah Putih
markdown Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), lebih dari sekadar arena olahraga, telah menjelma menjadi simbol kekuatan dan semangat bagi Tim Nasional Indonesia. Kemenangan 1-0 atas China dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, yang diraih berkat gol tunggal Ole Romeny, semakin mengukuhkan status GBK sebagai saksi bisu perjuangan dan kejayaan sepak bola Indonesia. Riuh rendah dukungan puluhan ribu suporter di stadion kebanggaan ini, seolah menjadi energi tambahan bagi para pemain Garuda untuk menaklukkan lawannya.
GBK bukan hanya tentang pertandingan dan kemenangan. Stadion ini menyimpan sejarah panjang dan fakta-fakta menarik yang mungkin belum banyak diketahui. Dibangun sebagai persiapan untuk Asian Games IV tahun 1962, GBK merupakan bagian dari kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang megah. Pembangunannya dimulai pada 8 Februari 1960, menandai komitmen Indonesia untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional.
Perjalanan Panjang dan Transformasi GBK
Awalnya, GBK dirancang untuk menampung hingga 110.000 penonton, menjadikannya salah satu stadion terbesar di dunia pada masanya. Namun, demi memenuhi standar internasional dan meningkatkan kenyamanan, kapasitasnya telah mengalami dua kali pengurangan. Pada tahun 2006, kapasitas dikurangi menjadi 88.083 kursi untuk perhelatan Piala Asia 2007. Kemudian, pada renovasi tahun 2016-2017, kapasitas kembali dipangkas menjadi 77.200 kursi dengan pemasangan single seat premium.
Sebelum berdiri kokoh di Senayan, lokasi GBK sempat menjadi perdebatan. Awalnya, kawasan Karet, Pejompongan, atau Dukuh Atas di dekat Jalan MH Thamrin dan Menteng menjadi kandidat kuat. Bahkan, Presiden Soekarno sempat mengusulkan Bendungan Hilir atau Rawamangun. Namun, arsitek Friedrich Silaban mengingatkan akan potensi banjir dan kemacetan di lokasi-lokasi tersebut.
Dari Pusat Olahraga Bung Karno ke Gelora Bung Karno
Nama stadion ini juga mengalami perubahan. Awalnya diusulkan sebagai 'Pusat Olahraga Bung Karno', kemudian diubah menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno. Namun, pada tahun 1984, rezim Orde Baru mengubahnya menjadi Stadion Utama Senayan sebagai bagian dari de-Soekarnoisasi. Barulah pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Stadion Gelora Bung Karno sebagai bentuk penghormatan kepada sang proklamator.
Desain GBK sendiri merupakan hasil kolaborasi dengan tim perancang dari Uni Soviet, yang dipilih oleh Soekarno karena terinspirasi oleh kemegahan Stadion Pusat Lenin di Moskow. Friedrich Silaban juga turut berperan penting dalam desain dan supervisi konstruksi.
Modernisasi dan Teknologi Canggih
Renovasi besar-besaran pada tahun 2018 membawa GBK ke era modern dengan внедрения teknologi canggih. Kini, stadion ini dilengkapi dengan WiFi berkecepatan tinggi, teknologi pengenalan wajah, CCTV 7K, sistem keamanan tiga lapis, dan sound system 80k watt PMPO. Bahkan, terdapat royal box dua lantai dengan kaca anti peluru.
Lebih dari itu, GBK juga ramah lingkungan dengan panel surya berkapasitas 420 KWP dan sistem drainase lapangan canggih. Rumput lapangan pun menggunakan jenis Zoysia Matrella standar FIFA, memastikan kualitas terbaik untuk setiap pertandingan.
Dengan segala sejarah, kemegahan, dan modernitasnya, Stadion Utama Gelora Bung Karno terus menjadi ikon kebanggaan Indonesia dan saksi bisu lahirnya para juara.