Profesi Sopir Truk di Indonesia Terancam: Eksploitasi dan Risiko Hukum Meningkat

Profesi sopir truk di Indonesia kini berada di persimpangan jalan, menghadapi tantangan eksploitasi yang berat dan risiko hukum yang semakin meningkat. Jumlah sopir truk terus menyusut, mencapai titik yang mengkhawatirkan menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), dengan rasio pengemudi dan kendaraan yang beroperasi memasuki zona bahaya.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyoroti bahwa sopir truk seringkali menjadi korban sistem yang mengeksploitasi mereka secara brutal. Dalam kondisi kerja yang keras, seperti di jalan tol Cipali yang panas, mereka dipaksa untuk terus mengemudi tanpa istirahat yang memadai, karena kurangnya fasilitas yang layak. Ironisnya, ketika terjadi kecelakaan, sopir truk adalah pihak pertama yang dicurigai, disalahkan, bahkan dijadikan tersangka, sementara pemilik barang seringkali lolos dari tanggung jawab hukum.

Seorang sopir truk, dikutip oleh MTI, mengungkapkan keprihatinannya, "Mengemudi kendaraan di Indonesia itu artinya siap jadi tersangka." Pernyataan ini mencerminkan realitas pahit bahwa sopir truk di Indonesia tidak memiliki standar jam kerja yang jelas, perlindungan hukum yang memadai, atau skema pengupahan yang layak.

Praktik pungutan liar (pungli) di berbagai titik dapat mengurangi hingga 35 persen dari biaya pengiriman, seperti yang dicatat oleh KNKT. Kondisi ini menyebabkan profesi sopir truk semakin ditinggalkan. Krisis pengemudi di tengah meningkatnya kebutuhan distribusi menjadi ironi yang tidak dibahas secara serius oleh para pejabat yang berwenang.

Masalah truk dengan dimensi dan muatan berlebih bukan hanya soal pelanggaran teknis atau upaya mencari keuntungan semata. Ini adalah cerminan dari kekacauan dalam pengelolaan logistik nasional. Karoseri masih bebas memproduksi truk dengan dimensi yang tidak sesuai standar. Pemilik barang dengan mudah memaksa sopir untuk memuat barang melebihi kapasitas demi efisiensi biaya, tanpa mempedulikan aturan hukum. Pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, belum menetapkan regulasi yang mewajibkan produsen dan pemilik barang untuk bertanggung jawab.

Pasal 184 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 memberikan kebebasan dalam menetapkan tarif angkutan barang melalui kesepakatan antara pengguna dan operator. Namun, dalam praktiknya, liberalisasi tarif ini justru memicu eksploitasi. Regulasi keselamatan dan batas teknis kendaraan tidak ditegakkan, sehingga truk dengan dimensi dan muatan berlebih semakin menjamur, merusak infrastruktur jalan dan pelabuhan, dan menyebabkan kerugian negara.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Eksploitasi Sopir: Sopir truk seringkali dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi tanpa perlindungan yang memadai.
  • Risiko Hukum: Sopir truk rentan menjadi tersangka dalam kecelakaan, bahkan ketika mereka bukan penyebab utama.
  • Pungutan Liar: Pungli mengurangi pendapatan sopir truk dan memperburuk kondisi kerja mereka.
  • Kelebihan Muatan: Praktik kelebihan muatan merusak infrastruktur dan membahayakan keselamatan.
  • Kurangnya Regulasi: Pemerintah belum mengambil tindakan yang cukup untuk mengatur industri truk dan melindungi sopir truk.