Korupsi APD COVID-19: Vonis Ringan Mengundang Sorotan Tajam

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta baru-baru ini menjatuhkan vonis terhadap tiga terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Putusan ini menuai sorotan karena dianggap jauh lebih ringan dari tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Ketiga terdakwa yang terlibat dalam kasus ini adalah Budi Sylvana, yang menjabat sebagai mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Satrio Wibowo selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), dan Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM). Majelis hakim menyatakan bahwa ketiganya terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara.

Dalam persidangan yang digelar pada Kamis, 5 Juni 2025, hakim menjatuhkan vonis kepada Budi Sylvana dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Vonis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dan telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap Kemenkes. Namun, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, seperti sikap sopan terdakwa selama persidangan dan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Budi Sylvana dinyatakan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara itu, Ahmad Taufik divonis dengan hukuman yang lebih berat, yaitu 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 224,18 miliar subsider 4 tahun kurungan. Satrio Wibowo juga mendapatkan vonis serupa, yakni 11 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 59,98 miliar subsider 3 tahun kurungan. Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus ini bermula dari dugaan negosiasi pengadaan APD COVID-19 yang dilakukan tanpa surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran. Jaksa mendakwa bahwa Budi dkk melakukan serangkaian tindakan melawan hukum, termasuk:

  • Melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu set tanpa surat pesanan.
  • Melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set.
  • Menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk pembayaran 170 ribu set APD tanpa surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.
  • Menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp 711.284.704.680 untuk PT PPM dan PT EKI.

Jaksa juga mengungkapkan bahwa PT EKI tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK) dan baik PT EKI maupun PT PPM tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kesepakatan negosiasi APD. Akibatnya, Satrio Wibowo diduga menerima Rp 59,9 miliar dan Ahmad Taufik menerima Rp 224,1 miliar, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 319 miliar.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman yang lebih berat bagi ketiga terdakwa. Budi Sylvana dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, Ahmad Taufik dituntut 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara, serta uang pengganti Rp 224,18 miliar subsider 6 tahun penjara, dan Satrio Wibowo dituntut 14 tahun dan 10 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 59,98 miliar subsider 4 tahun penjara. Selisih yang signifikan antara tuntutan jaksa dan vonis hakim inilah yang kemudian memicu berbagai reaksi dan pertanyaan mengenai keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.