Pajak Wisatawan Asing: Strategi Membangun Pariwisata Indonesia yang Berkelanjutan

Pajak Wisatawan Asing: Strategi Membangun Pariwisata Indonesia yang Berkelanjutan

Anggota Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, baru-baru ini mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepariwisataan mengatur penerapan pajak bagi wisatawan asing (WNA). Usulan ini bertujuan untuk menyaring kedatangan WNA, sekaligus meningkatkan kualitas pariwisata Indonesia. Gagasan ini pun telah memicu perdebatan dan analisis mendalam dari berbagai pihak, termasuk kalangan praktisi dan pengamat pariwisata.

Muhammad Rahmad, praktisi usaha perjalanan wisata dan dosen peneliti dari Institut Pariwisata Trisakti Jakarta, menilai wacana tersebut sebagai peluang strategis. Ia menekankan bahwa pajak wisatawan bukanlah konsep baru dalam industri pariwisata global. Banyak negara telah menerapkannya dengan beragam bentuk dan tujuan, menghasilkan dampak yang beragam pula. Thailand, misalnya, menerapkan biaya masuk sebesar 300 baht per orang, dialokasikan untuk pengembangan destinasi wisata dan asuransi wisatawan. Singapura menerapkan pajak hotel, sementara Jepang mengenakan pajak bagi setiap wisatawan yang meninggalkan negara tersebut. Di Eropa, kota-kota seperti Venesia dan Barcelona juga menerapkan pajak turis untuk mengatasi masalah overtourism.

Rahmad menyoroti pentingnya pembelajaran dari berbagai studi kasus tersebut. Penerapan pajak wisatawan bukan hanya sekadar untuk menambah pendapatan negara, tetapi juga sebagai instrumen kebijakan untuk mengarahkan perkembangan pariwisata sesuai dengan visi strategis negara. Ia lantas mengusulkan beberapa pendekatan untuk penerapan pajak WNA di Indonesia:

  • Pajak Bertingkat: Menerapkan tarif pajak yang berbeda berdasarkan asal negara wisatawan. Negara-negara yang menjadi pasar utama pariwisata Indonesia dapat dikenakan tarif yang berbeda dengan negara lainnya, guna menjaga daya saing.
  • Transparansi Penggunaan Dana: Memberikan transparansi penuh kepada wisatawan mengenai penggunaan dana pajak yang terkumpul, apakah untuk konservasi alam, pelestarian budaya, atau pengembangan infrastruktur pariwisata.
  • Implementasi Bertahap: Mulai menerapkan pajak di destinasi premium seperti Bali dan Labuan Bajo sebelum diterapkan secara nasional, untuk memudahkan evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
  • Pembebasan Pajak Tertarget: Memberikan pembebasan pajak kepada kelompok wisatawan tertentu, seperti pelajar internasional, peneliti, atau wisatawan dengan tujuan medis, untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
  • Integrasi dengan Pariwisata Berkelanjutan: Menggunakan dana pajak untuk mendukung program-program pariwisata berkelanjutan, seperti pelestarian lingkungan, pelestarian budaya lokal, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di destinasi wisata.

Rahmad menegaskan bahwa tujuan penerapan pajak WNA bukanlah untuk mengurangi jumlah wisatawan, melainkan meningkatkan kualitas pengalaman wisata. Dengan pendekatan yang tepat, pajak wisatawan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak: wisatawan mendapatkan pengalaman yang lebih baik, industri pariwisata tercipta lingkungan bisnis yang lebih berkelanjutan, masyarakat lokal mendapatkan peluang ekonomi yang lebih merata, dan pemerintah mendapatkan pendapatan tambahan untuk pengembangan sektor pariwisata. Keberhasilan kebijakan ini, menurutnya, tidak diukur dari besaran dana yang terkumpul, tetapi dari dampaknya terhadap keseluruhan ekosistem pariwisata Indonesia. Pajak WNA, idealnya, menjadi katalis transformasi pariwisata Indonesia menuju industri yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing global.