Mengapa Cita Rasa Daging Kurban Berbeda? Penjelasan Ilmiah di Baliknya
Perayaan Idul Adha identik dengan ibadah kurban, di mana umat Muslim menyembelih hewan ternak seperti sapi, kambing, atau domba. Daging kurban ini kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, menjadi simbol kebersamaan dan kepedulian sosial.
Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai perbedaan rasa antara daging kurban dengan daging yang biasa dibeli di pasaran. Banyak yang beranggapan bahwa perbedaan ini hanya sugesti, tetapi ternyata ada penjelasan ilmiah yang mendasarinya.
Perbedaan rasa pada daging kurban dapat dijelaskan melalui beberapa faktor, terutama kondisi fisiologis hewan sebelum dan saat penyembelihan. Salah satu faktor utama adalah tingkat stres yang dialami hewan.
Pengaruh Stres pada Kualitas Daging
Stres pada hewan kurban dapat dibedakan menjadi dua jenis:
- Stres Jangka Panjang: Stres ini biasanya disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak nyaman, seperti perjalanan panjang, kandang yang terlalu panas atau dingin, atau perlakuan yang kurang baik.
- Stres Jangka Pendek: Stres ini terjadi sesaat sebelum penyembelihan, misalnya karena hewan merasa takut atau panik akibat melihat atau mendengar proses penyembelihan hewan lain.
Ketika hewan mengalami stres, tubuhnya akan melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Hormon-hormon ini memicu penggunaan glikogen, yaitu cadangan energi yang tersimpan dalam otot hewan. Akibatnya, kadar glikogen dalam otot menurun drastis sebelum penyembelihan.
Proses Glikolisis dan Pengaruhnya pada pH Daging
Setelah hewan disembelih, aliran darah berhenti dan suplai oksigen ke jaringan terhenti. Kondisi ini memicu proses glikolisis, yaitu perubahan glikogen menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang menyebabkan penurunan pH (tingkat keasaman) daging.
Pada kondisi normal, pH daging akan turun secara bertahap dari sekitar 7 menjadi 5,4-5,7 dalam waktu 18-24 jam setelah penyembelihan. Proses ini disebut sebagai "pH ultimate". Setelah mencapai pH ultimate, pH daging akan naik kembali secara perlahan menuju angka 6,5.
Namun, pada hewan yang mengalami stres sebelum penyembelihan, kadar glikogen dalam otot sudah berkurang. Akibatnya, produksi asam laktat juga lebih sedikit, dan pH ultimate yang dicapai lebih tinggi, yaitu di atas angka 6. Daging dengan pH tinggi cenderung lebih kering, berwarna lebih gelap, dan lebih mudah busuk.
Dampak Penanganan yang Kurang Tepat
Selain stres jangka panjang, penanganan yang kurang tepat saat penyembelihan juga dapat memengaruhi kualitas daging. Jika hewan diperlakukan kasar atau ketakutan, otot-ototnya akan tegang dan suhu tubuhnya meningkat. Kondisi ini mempercepat penurunan pH daging menjadi di bawah 6 dalam waktu singkat (45 menit hingga 1 jam).
Penurunan pH yang terlalu cepat dengan suhu daging yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein, yaitu perubahan struktur protein yang membuat daging kehilangan kemampuan menahan air. Akibatnya, daging menjadi pucat, berair, dan lebih rentan terhadap pertumbuhan bakteri.
Pentingnya Pemotongan Hewan di RPH
Untuk meminimalkan stres pada hewan dan memastikan kualitas daging yang optimal, pemotongan hewan sebaiknya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). RPH memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang mengatur proses pemotongan secara manusiawi dan higienis.
Namun, karena jumlah RPH yang terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil, pemotongan hewan kurban seringkali dilakukan di luar RPH. Hal ini membuat standar pemotongan hewan sulit terjamin.
Imbauan untuk Kesejahteraan Hewan Kurban
Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat mendorong pemerintah setempat untuk menjamin kesejahteraan hewan-hewan kurban yang akan dipotong. Dengan memberikan perlakuan yang baik dan mengurangi stres pada hewan, kualitas daging kurban dapat ditingkatkan.
Bagi penerima daging kurban, disarankan untuk segera mengolah dan mengonsumsi daging tersebut dalam keadaan segar. Hindari mengonsumsi daging yang masih kaku setelah disembelih. Sebaiknya istirahatkan terlebih dahulu sebelum diolah dan dimasak.