Ahli Hukum UGM: Bukti Ilegal Tak Dapat Jerat Terdakwa dalam Sidang Harun Masiku

Dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terhadap Harun Masiku, ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, memberikan keterangan yang menyoroti pentingnya legalitas barang bukti dalam proses peradilan. Keterangan ini disampaikan saat dirinya menjadi saksi ahli dan mendapatkan pertanyaan intensif dari Febri Diansyah, pengacara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Fatahillah Akbar menegaskan bahwa barang bukti yang diperoleh secara tidak sah, melanggar hukum acara pidana, dan tanpa justifikasi yang jelas, tidak dapat dijadikan dasar untuk menjerat seorang terdakwa. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas simulasi kasus yang diajukan Febri Diansyah, yang menggambarkan serangkaian pelanggaran due process of law atau proses hukum yang adil dalam penanganan perkara.

Febri Diansyah memulai dengan contoh kasus di mana penyidik terburu-buru melimpahkan perkara ke penuntut umum, meskipun ada permintaan untuk memeriksa ahli. "Menurut saudara, sebelum kita membahas konsekuensinya, apakah tindakan ini melanggar prinsip due process of law?" tanya Febri.

Menanggapi hal tersebut, Fatahillah Akbar menjelaskan bahwa persoalan ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 116 Ayat (4) KUHAP yang kemudian menjadi dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65 Tahun 2010. Ia mengakui adanya keseimbangan antara kewajiban penyidik untuk mengakomodasi hak-hak tersangka dan prinsip crime control, yang menekankan efisiensi dan kecepatan dalam penanganan kejahatan untuk mencegah tindak kejahatan lebih lanjut.

Fatahillah menambahkan bahwa proses di pengadilan lebih menekankan pada due process of law, di mana jaksa dan terdakwa memiliki hak yang sama di hadapan hakim. "Jadi, majelis hakim akan menilai apakah saksi-saksi yang dihadirkan cukup relevan dalam persidangan atau dalam proses penyidikan," jelasnya.

Febri Diansyah kemudian mengajukan contoh kasus lain yang melibatkan berbagai pelanggaran prinsip due process of law, termasuk:

  • Penyadapan yang dimulai sebelum proses penyelidikan.
  • Bukti penyadapan tanpa izin dari Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK).
  • Alat bukti berupa call detail record (CDR) yang rentan terhadap penyadapan.
  • CDR yang tidak melalui pemeriksaan digital forensik sebelum dijadikan alat bukti.
  • Penyelidik dan penyidik yang menjadi saksi fakta di persidangan.
  • Perekaman diam-diam.
  • Penggeledahan yang tidak dilakukan terhadap terdakwa.

Fatahillah Akbar menekankan bahwa keabsahan alat bukti sangat bergantung pada ada atau tidaknya justifikasi yang memadai. Hal ini akan menjadi pertimbangan utama bagi majelis hakim. Tanpa justifikasi yang kuat, alat bukti yang diajukan jaksa dalam persidangan dianggap tidak sah. "Jika terbukti tidak dapat dijustifikasi dan melanggar hukum acara, maka alat bukti tersebut seharusnya tidak digunakan," tegas Fatahillah.

Kubu Hasto Kristiyanto sebelumnya telah menyoroti sejumlah dugaan kecacatan prosedur dalam penanganan perkara ini oleh penyidik KPK, termasuk perolehan barang bukti yang bermasalah sejak proses penyelidikan dan penyidikan, serta adanya penyelidik dan penyidik yang bertindak sebagai saksi fakta.