Pendakian Everest: Antara Petualangan Sejati dan Komersialisasi Ekstrem

Pendakian Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, kini menjadi sorotan. Caradoc Jones, pendaki asal Wales yang mencapai puncak Everest tiga dekade lalu, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai perubahan drastis dalam industri pendakian. Menurutnya, pendakian Everest saat ini telah bertransformasi menjadi sebuah "sirkus", jauh dari esensi pendakian gunung yang sebenarnya.

Jones, yang menaklukkan Everest pada tahun 1995 dengan biaya yang relatif terjangkau, menyaksikan sendiri bagaimana gunung tersebut telah berubah menjadi objek wisata populer. Baginya, semangat petualangan sejati dalam pendakian kini terancam hilang. Biaya pendakian Everest melonjak drastis. Diperkirakan pada tahun 2025, seorang pendaki rata-rata harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Padahal, menurut Jones, banyak pendaki yang melakukan pendakian yang jauh lebih sulit di berbagai belahan dunia dengan biaya yang lebih rendah. Pendakian-pendakian inilah yang seharusnya menjadi inti dari kegiatan mendaki gunung dan panjat tebing.

Kepadatan pendaki di Everest juga menjadi perhatian utama. Antrean panjang di "Zona Kematian", area di dekat puncak dengan kadar oksigen yang sangat tipis, sering kali membahayakan nyawa para pendaki. Nepal, negara yang sangat bergantung pada pariwisata pendakian, menghadapi kritik karena memberikan izin kepada terlalu banyak pendaki, termasuk mereka yang kurang berpengalaman.

Menanggapi masalah ini, Nepal berencana untuk memperketat aturan pendakian Everest. Pemerintah Nepal sedang mempertimbangkan undang-undang yang hanya akan mengizinkan pendaki yang telah berhasil menaklukkan puncak setinggi minimal 7.000 meter di negara tersebut untuk mendaki Everest. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi jumlah pendaki yang tidak berpengalaman dan menjaga keseimbangan ekologi di gunung tersebut. RUU Pariwisata Terpadu yang diusulkan, diharapkan dapat segera disahkan, menandai perubahan besar dalam pengelolaan pariwisata pendakian di Nepal.