Kejagung Dalami Peran Lima Vendor dalam Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop Kemendikbudristek
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan laptop untuk program digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kasus ini, yang meliputi periode anggaran 2019 hingga 2022, kini memfokuskan perhatian pada peran sejumlah pihak swasta yang terlibat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi setidaknya lima vendor yang terkait dengan pengadaan tersebut. "Saat ini, kami mencatat ada sekitar lima vendor yang terlibat," ujar Harli kepada awak media, (tanggal berita disamarkan). Kendati demikian, Harli belum bersedia memberikan informasi lebih rinci mengenai identitas maupun peran spesifik masing-masing vendor. Menurutnya, informasi detail mengenai vendor-vendor tersebut masih dalam proses pendalaman oleh tim penyidik.
"Nama-nama vendor tersebut saat ini berada di tangan penyidik. Fokus kami adalah menelusuri secara mendalam peran masing-masing pihak dalam proses pengadaan ini," imbuh Harli. Ia juga belum dapat memastikan apakah kelima vendor tersebut memiliki keterkaitan dengan pihak-pihak tertentu di dalam Kemendikbudristek yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan proyek tersebut.
Kasus ini bermula dari temuan adanya potensi penyimpangan dalam pengadaan laptop untuk mendukung program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek. Proyek yang menggunakan anggaran negara sebesar Rp 9,9 triliun ini, diduga kuat tidak berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola keuangan negara yang baik.
Kejaksaan Agung menemukan adanya kejanggalan, salah satunya terkait dengan pengadaan barang yang diduga tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Pada tahun 2020, Kemendikbudristek menyusun rencana pengadaan bantuan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk satuan pendidikan dari jenjang dasar hingga menengah atas.
Namun, rencana tersebut dinilai janggal karena sebelumnya, pada tahun 2019, telah dilakukan uji coba penggunaan Chromebook sebanyak 1.000 unit, dan hasilnya menunjukkan bahwa perangkat tersebut kurang efektif untuk mendukung kegiatan belajar mengajar.
"Seharusnya, hasil evaluasi dari uji coba tersebut menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan jenis perangkat yang akan diadakan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya," jelas Harli. Lebih lanjut, ia menduga adanya indikasi persekongkolan atau pemufakatan jahat yang melibatkan berbagai pihak. Indikasi ini muncul karena penggantian spesifikasi perangkat yang dilakukan diduga tidak didasarkan pada kebutuhan yang sebenarnya.
"Diduga ada semacam persekongkolan dalam proses ini. Padahal, dari hasil uji coba sebelumnya, sudah jelas bahwa penggunaan Chromebook kurang tepat," tegas Harli.
Lebih lanjut, Kejagung menemukan bahwa Kemendikbudristek membentuk tim teknis baru yang bertugas membuat kajian teknis terkait penggunaan laptop dengan sistem operasi Chromebook dalam proses pengadaan barang/jasa. Namun, pembentukan tim ini diduga bukan didasarkan pada kebutuhan akan ketersediaan peralatan TIK yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, melainkan untuk mengarahkan pengadaan pada penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook.
"Tujuannya diduga untuk mengarahkan pengadaan agar menggunakan laptop berbasis sistem operasi Chromebook," pungkas Harli.