Sidang Kasus PAW DPR, Ahli Hukum UGM Soroti Legalitas Penyadapan KPK Tanpa Izin Dewan Pengawas

Polemik Legalitas Penyadapan KPK Mencuat dalam Sidang Kasus Suap PAW DPR

Dalam persidangan kasus dugaan suap terkait pergantian Antar-Waktu (PAW) anggota DPR yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, legalitas penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan utama. Muhammad Fatahillah Akbar, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dihadirkan sebagai saksi ahli, menyatakan bahwa hasil penyadapan yang diperoleh tanpa izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK dapat dianggap tidak sah sebagai alat bukti.

Pernyataan Fatahillah ini muncul sebagai respons terhadap pertanyaan yang diajukan oleh kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Febri mempertanyakan implikasi dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 terkait perubahan aturan penyadapan yang mengharuskan izin Dewas. Fatahillah menjelaskan bahwa setelah putusan MA tersebut, penyadapan oleh KPK tetap memerlukan pemberitahuan kepada Dewas.

Lebih lanjut, Fatahillah menegaskan bahwa jika penyadapan dilakukan sebelum putusan MA, maka penyidik KPK wajib mengantongi izin dari Dewas. Ketidakpatuhan terhadap prosedur ini, menurutnya, dapat menggugurkan keabsahan bukti penyadapan tersebut. Ia menekankan pentingnya bagi penyidik KPK untuk tunduk pada aturan yang mengatur proses penyadapan agar alat bukti yang diperoleh dapat digunakan secara sah di pengadilan.

Febri Diansyah kemudian memperdalam pertanyaan mengenai penerapan Undang-Undang KPK terhadap proses penyadapan yang dimulai pada tanggal 20 Desember 2019, setelah undang-undang tersebut diundangkan pada 17 Oktober 2019. Fatahillah menjawab bahwa jika proses penyadapan dimulai setelah undang-undang KPK berlaku, maka aturan tersebut wajib dipatuhi.

Kasus ini menyoroti kompleksitas dan pentingnya соблюдение prosedur hukum dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi. Legalitas alat bukti, termasuk hasil penyadapan, menjadi krusial dalam menentukan keabsahan proses peradilan dan penegakan hukum. Perdebatan mengenai izin Dewas dalam penyadapan KPK juga membuka diskusi lebih lanjut mengenai keseimbangan antara efektivitas pemberantasan korupsi dan perlindungan hak-hak individu.

Berikut poin penting yang mengemuka dalam persidangan:

  • Legalitas Penyadapan: Hasil penyadapan tanpa izin Dewas KPK berpotensi tidak sah sebagai alat bukti.
  • Putusan MA: Putusan MA yang membatalkan UU No. 19/2019 mengubah aturan penyadapan, mewajibkan pemberitahuan kepada Dewas.
  • Kepatuhan Prosedur: Penyidik KPK wajib tunduk pada aturan penyadapan agar alat bukti sah.
  • Tanggal Dimulainya Penyadapan: Penerapan UU KPK bergantung pada tanggal dimulainya proses penyadapan.

Implikasi dari perdebatan ini dapat memengaruhi proses hukum kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyadapan sebagai alat bukti. Kepastian hukum dan соблюдение prosedur yang benar menjadi kunci dalam menjaga integritas sistem peradilan pidana di Indonesia.