Revisi Proyeksi Ekonomi Indonesia: OECD Kembali Menurunkan Target Pertumbuhan 2025

OECD Kembali Revisi Turun Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025. Revisi ini merupakan yang kedua kalinya dalam beberapa bulan terakhir, menimbulkan kekhawatiran tentang prospek ekonomi negara di tengah ketidakpastian global.

Dalam laporan OECD Economic Outlook edisi terbaru, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sebesar 4,7% untuk tahun 2025. Angka ini lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,2% pada Maret 2025, yang kemudian direvisi menjadi 4,9% pada Juni 2025. OECD mengindikasikan bahwa sentimen bisnis dan konsumen yang melemah, ditambah dengan ketidakpastian kebijakan fiskal dan suku bunga tinggi, menjadi penyebab utama penurunan proyeksi ini. Faktor-faktor tersebut diperkirakan akan menekan konsumsi dan investasi swasta pada paruh pertama tahun 2025.

OECD juga menyoroti beberapa risiko eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia. Eskalasi ketegangan perdagangan global dan penurunan harga komoditas dapat berdampak negatif pada permintaan ekspor dan pendapatan negara. Selain itu, perlambatan ekonomi yang lebih besar dari perkiraan di Tiongkok, sebagai pasar ekspor utama Indonesia, juga dapat memperburuk kondisi ini. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat arus modal keluar yang dipicu oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik juga menjadi perhatian.

Meski demikian, OECD melihat adanya potensi peningkatan permintaan domestik pada paruh kedua tahun 2025 dan 2026. Kondisi keuangan yang membaik, inflasi yang terkendali dalam kisaran target Bank Indonesia (BI), dan investasi publik dari dana kekayaan negara (Sovereign Wealth Fund) diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. OECD juga menyoroti pentingnya penyebaran dana kekayaan negara secara cepat dan efektif untuk mengkatalisasi investasi swasta dan mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur.

Respons Pemerintah Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengakui bahwa perlambatan ekonomi global akibat perang dagang yang dipicu oleh Amerika Serikat (AS) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia. Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan memberikan berbagai insentif ekonomi.

Berikut adalah beberapa insentif yang telah dan akan diterapkan:

  • Diskon tarif listrik (Januari-Februari 2025)
  • Diskon tarif tol
  • Bantuan Subsidi Upah (BSU)
  • Diskon transportasi umum (Juni-Juli 2025)
  • Bantuan sosial pangan (Juni-Juli 2025)
  • Perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan

Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 24,44 triliun untuk insentif ini, dengan Rp 23,59 triliun ditanggung oleh APBN dan sisanya melalui skema non-APBN. Airlangga berharap langkah-langkah ini dapat melindungi industri padat karya yang terdampak ekspor ke AS dan menjaga daya beli masyarakat dalam situasi ekonomi global yang menantang.

Tantangan dan Peluang

Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh OECD menjadi sinyal peringatan bagi Indonesia. Pemerintah perlu mewaspadai risiko eksternal dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan. Upaya diversifikasi ekspor, peningkatan investasi di sektor-sektor produktif, dan reformasi struktural yang berkelanjutan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang di tengah ketidakpastian global. Selain itu, efektivitas penyaluran dana kekayaan negara dan keberhasilan implementasi proyek-proyek infrastruktur juga akan memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.