Kebijakan Co-Payment Asuransi Kesehatan Picu Kekhawatiran Peserta

Kebijakan Co-Payment Asuransi Kesehatan Picu Kekhawatiran Peserta

Jakarta - Implementasi skema co-payment atau patungan biaya klaim dalam produk asuransi kesehatan, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025, menuai respons beragam dari para peserta. Sejumlah peserta asuransi kesehatan swasta mengungkapkan kekhawatiran atas potensi beban finansial tambahan yang mungkin timbul akibat kebijakan baru ini. Bahkan, beberapa di antaranya mempertimbangkan ulang keikutsertaan mereka dalam program asuransi.

Beberapa peserta asuransi menyampaikan keluhannya mengenai aturan baru ini. Krisna, seorang karyawan swasta, menyatakan perlunya klarifikasi lebih lanjut mengenai dampak finansial dari skema co-payment ini sebelum mengambil kesimpulan. Meskipun belum berencana membatalkan polisnya, Krisna merasa kecewa karena premi yang selama ini dibayarkan seharusnya memberikan perlindungan komprehensif saat sakit.

"Kita sebagai nasabah membayar premi dengan harapan seluruh biaya akan ditanggung oleh perusahaan asuransi saat sakit. Namun, jika masih ada biaya tambahan yang harus dibayar, apa gunanya memiliki asuransi?" ujarnya.

Senada dengan Krisna, Tia, seorang karyawan swasta berusia 28 tahun, juga menyayangkan penerapan skema co-payment. Tia merasa bahwa manfaat yang selama ini ia nikmati akan berkurang secara signifikan. Selama ini, Tia tidak perlu membayar biaya tambahan saat berobat karena seluruhnya ditanggung oleh asuransi.

"Saya sama sekali tidak setuju dengan skema ini. Selama ini, saya tidak perlu membayar apapun saat sakit karena semuanya ditanggung 100 persen oleh asuransi," ungkapnya.

Tia berpendapat bahwa pembayaran premi seharusnya sudah cukup untuk menjamin seluruh biaya pengobatan. Ia tidak melihat adanya keuntungan dari skema baru yang mengharuskannya menanggung sebagian biaya.

Denis (28) juga menyampaikan keberatannya terhadap skema co-payment. Menurutnya, asuransi kesehatan seharusnya memberikan perlindungan penuh saat seseorang sakit.

"Kita membeli asuransi kesehatan itu seperti membeli payung. Kita baru menggunakannya saat hujan," jelasnya.

Denis menyoroti kewajiban menanggung minimal 10 persen dari total klaim, terutama untuk biaya rawat inap yang bisa mencapai Rp 3 juta per klaim. Ia mempertimbangkan ulang manfaat yang akan ia terima jika aturan ini diterapkan sepenuhnya.

"Saya akan mempertimbangkan kembali manfaat yang akan saya dapatkan dengan aturan baru ini," pungkasnya.

SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 mewajibkan seluruh produk asuransi kesehatan untuk menerapkan skema co-payment. Peserta asuransi diwajibkan menanggung minimal 10 persen dari total klaim. Untuk rawat jalan, batas maksimal tanggungan peserta adalah sebesar Rp 300.000 per klaim. Sementara itu, untuk rawat inap, batas maksimal tanggungan peserta adalah sebesar Rp 3 juta per klaim.