Polemik Tapera: Ahli Hukum Pemerintah Justifikasi Iuran Pekerja Berpenghasilan Tinggi Demi Subsidi Silang Perumahan Rakyat
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sidang yang berlangsung di Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025), menghadirkan ahli dari pihak pemerintah, Ruslan Prijadi, seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Dalam keterangannya, Ruslan menjelaskan dasar pemikiran di balik kewajiban seluruh pekerja untuk membayar iuran Tapera, terlepas dari apakah mereka sudah memiliki rumah atau belum. Ia menegaskan bahwa iuran tersebut ditujukan untuk mewujudkan prinsip gotong royong dalam sistem perumahan rakyat.
Menanggapi pertanyaan Hakim Konstitusi Saldi Isra mengenai justifikasi kewajiban iuran bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, Ruslan menjelaskan bahwa mereka yang telah memiliki rumah tidak berhak mendapatkan fasilitas kredit kepemilikan rumah (KPR) dari Tapera. Program Tapera, kata dia, diprioritaskan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memiliki rumah pertama.
"Apakah setelah dia punya rumah diberi hak lagi? Memang ini untuk pembelian rumah pertama, jadi sudah punya rumah sebenarnya tidak punya hak untuk itu," ucapnya.
Lebih lanjut, Ruslan berpendapat bahwa pekerja yang telah memiliki rumah diasumsikan memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat berkontribusi melalui iuran Tapera untuk membantu masyarakat yang kurang mampu agar memiliki akses terhadap perumahan yang layak.
"Tapi demi dia membangun kolektivitas tadi, katakanlah dia sudah punya rumah berarti income-nya tidak jelek-jelek amat, Anda mau nggak yuk bantu teman-teman Anda yang MBR dengan setor tadi, masyarakat dananya lebih banyak, maka pembiayaan jangka panjang insya Allah bisa diwujudkan," ujarnya.
Keterangan Ruslan ini disampaikan dalam rangka menanggapi gugatan yang diajukan oleh 11 serikat pekerja. Para penggugat merasa keberatan dengan kewajiban membayar iuran Tapera sebesar 2,5 persen dari gaji mereka. Mereka meminta MK untuk menghapus kata "wajib" dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Tapera dan mengubahnya menjadi "dapat," sehingga keikutsertaan dalam program Tapera menjadi pilihan.
Selain itu, para penggugat juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pekerja yang secara sukarela memilih menjadi peserta Tapera wajib didaftarkan oleh pemberi kerja.
Berikut poin-poin yang menjadi sorotan dalam sidang uji materi UU Tapera:
- Kewajiban Iuran Tapera: Serikat pekerja mempersoalkan kewajiban membayar iuran Tapera bagi seluruh pekerja, termasuk yang sudah memiliki rumah.
- Prinsip Gotong Royong: Pemerintah berargumen bahwa iuran Tapera merupakan wujud gotong royong untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah.
- Fokus Tapera: Program Tapera diprioritaskan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki rumah pertama.
- Gugatan Serikat Pekerja: Serikat pekerja meminta MK untuk mengubah status keikutsertaan dalam Tapera menjadi sukarela.
- Uji Materi UU Tapera: MK tengah menguji konstitusionalitas UU Tapera, khususnya terkait kewajiban iuran bagi seluruh pekerja.