Pemerintahan Trump Putuskan Dana Hibah US$400 Juta untuk Universitas Columbia Terkait Aksi Pro-Palestina

Pemerintahan Trump Putuskan Dana Hibah US$400 Juta untuk Universitas Columbia Terkait Aksi Pro-Palestina

Pemerintahan Presiden Donald Trump secara resmi membatalkan dana hibah dan kontrak senilai US$400 juta (sekitar Rp 6,5 triliun) yang dialokasikan untuk Universitas Columbia. Keputusan kontroversial ini diumumkan secara bersamaan oleh Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat pada Jumat, 7 Maret 2025, dan telah menimbulkan gelombang reaksi beragam dari berbagai kalangan. Alasan resmi yang disampaikan pemerintah adalah kegagalan Universitas Columbia dalam mengatasi dugaan penyebaran antisemitisme di kampus, yang dikaitkan dengan aksi protes pro-Palestina yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun sebelumnya.

Meskipun pengumuman tersebut tidak merinci secara spesifik hibah dan kontrak mana yang dibatalkan, keputusan ini diambil menyusul serangkaian demonstrasi mahasiswa yang menentang konflik Israel-Hamas di Jalur Gaza. Aksi-aksi ini, yang meliputi unjuk rasa dan pendirian kamp protes di berbagai kampus Amerika Serikat, menyerukan penghentian investasi universitas pada perusahaan yang dianggap mendukung serangan Israel dan pendudukan wilayah Palestina. Pemerintah Trump, dan sejumlah pihak dari berbagai spektrum politik, menuduh para demonstran pro-Palestina menyebarkan antisemitisme, menimbulkan desakan untuk tindakan tegas terhadap mahasiswa dan universitas yang terlibat.

Tanggapan Universitas Columbia terhadap keputusan ini disampaikan oleh juru bicara Samantha Slater. Dalam pernyataannya, Slater menegaskan komitmen universitas untuk bekerja sama dengan pemerintah federal guna mengembalikan pendanaan dan menekankan keseriusan universitas dalam menangani masalah antisemitisme serta memastikan keselamatan dan kesejahteraan seluruh civitas akademika. Universitas telah membentuk komite disiplin baru dan meningkatkan penyelidikan internal terhadap mahasiswa yang dianggap kritis terhadap Israel, langkah yang tampaknya belum cukup memuaskan pemerintah Trump.

Namun, keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Banyak yang menilai langkah pemerintah Trump sebagai bentuk penindakan keras terhadap kebebasan berekspresi di kampus. Bahkan, beberapa kelompok pro-Israel pun turut mengecam kebijakan ini. J Street, sebuah kelompok advokasi pro-Israel, menyatakan kepada Reuters bahwa pemotongan dana justru akan menghambat upaya nyata dalam mengatasi antisemitisme di Universitas Columbia. Pernyataan ini menyoroti dilema yang kompleks yang dihadapi universitas dalam menyeimbangkan kebebasan berbicara dan tanggung jawab dalam mencegah ujaran kebencian di lingkungan kampus.

Menteri Pendidikan AS Linda McMahon dalam pernyataannya menekankan bahwa universitas wajib mematuhi seluruh undang-undang antidiskriminasi federal untuk menerima pendanaan federal. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan universitas yang menerima dana publik. Namun, pernyataan tersebut juga memicu debat lebih lanjut tentang definisi antisemitisme dan bagaimana hal tersebut diukur serta ditangani dalam konteks kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi.

Debat ini, yang melibatkan berbagai pihak dari berbagai perspektif politik dan ideologi, menunjukkan betapa sensitif dan kompleksnya isu ini, yang membentang jauh melampaui sekadar pemotongan dana. Ia menyentuh inti dari kebebasan akademik, kebebasan berbicara, dan peran pemerintah dalam regulasi universitas, sekaligus menyoroti tantangan dalam menangani isu-isu sensitif seperti konflik Israel-Palestina dan antisemitisme di lingkungan kampus.