KPK Ungkap Dugaan Pemerasan TKA di Kemnaker, Libatkan Dua Mantan Pejabat Tinggi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pemerasan terkait pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pengumuman ini disampaikan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

"Para tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap TKA yang ingin bekerja di Indonesia," ujar Plh. Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo Wibowo. Modusnya, menurut Budi, adalah dengan memanfaatkan celah dalam proses penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), izin yang wajib dimiliki TKA sebelum bekerja di Indonesia. Kewenangan penerbitan RPTKA berada di bawah Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK).

Daftar Tersangka:

Delapan tersangka yang ditetapkan KPK adalah:

  • Suhartono: Direktur Jenderal (Dirjen) Binapenta dan PKK Kemnaker periode 2020-2023.
  • Haryanto: Direktur PPTKA tahun 2019-2024, Dirjen Binapenta dan PKK tahun 2024-2025, dan saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional.
  • Wisnu Pramono: Direktur PPTKA tahun 2017-2019.
  • Devi Angraeni: Direktur PPTKA tahun 2024-2025.
  • Gatot Widiartono: Koordinator Analisis dan Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) sejak tahun 2021-2025.
  • Putri Citra Wahyoe: Petugas Hotline RPTKA periode 2019-2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA pada Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) tahun 2024-2025.
  • Jamal Shodiqin: Analis TU Direktorat PPTKA tahun 2019-2024 dan Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA tahun 2024-2025.
  • Alfa Eshad: Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker tahun 2018-2025.

Dalam pengembangan kasus ini, KPK telah melakukan serangkaian penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk agen penyalur TKA dan rumah salah seorang PNS Kemnaker. Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai senilai total Rp 2,2 miliar dan dokumen-dokumen terkait.

Kasus ini bermula dari laporan mengenai adanya dugaan praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kemnaker terhadap calon TKA. Pemerasan ini diduga telah berlangsung sejak tahun 2019 dan merugikan para TKA hingga mencapai Rp 53 miliar.