Polemik Aturan Baru OJK: Peserta Asuransi Kesehatan Keluhkan Beban Tambahan Biaya Klaim

Aturan Co-payment Asuransi Kesehatan Tuai Protes Peserta

Kebijakan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait produk asuransi kesehatan memicu gelombang keberatan dari para peserta. Aturan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 ini mewajibkan adanya skema co-payment atau pembagian risiko dalam layanan rawat jalan dan rawat inap.

Skema co-payment ini mengharuskan pemegang polis untuk menanggung sebagian dari total klaim yang diajukan. Proporsi tanggungan peserta ditetapkan minimal sebesar 10 persen, dengan batasan maksimal Rp 300.000 untuk setiap pengajuan klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap.

Keluhan Peserta Asuransi

Sejumlah peserta asuransi kesehatan mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap aturan baru ini. Ave, seorang karyawan swasta berusia 25 tahun, mengaku keberatan karena selama ini ia telah membayar premi secara rutin melalui potongan gaji. Ia berharap asuransi kesehatan dapat menjadi dana cadangan saat membutuhkan perawatan medis.

"Dengan adanya skema co-payment ini, saya merasa terbebani karena ketika sakit seharusnya bisa langsung mendapatkan pertolongan, namun masih harus mengeluarkan biaya tambahan," ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa proses klaim asuransi seringkali membutuhkan tenaga dan waktu.

Krisna, seorang karyawan swasta berusia 31 tahun, juga menyampaikan keluhan serupa. Ia mengambil asuransi kesehatan dengan tujuan mendapatkan proteksi saat sakit atau membutuhkan layanan kesehatan. Menurutnya, aturan baru ini justru bertentangan dengan tujuan awal memiliki asuransi.

"Peraturan ini mulai dijalankan saat situasi ekonomi negara sedang tertekan berat," kata Krisna. Ia khawatir aturan ini akan menghambat minat masyarakat untuk memiliki asuransi kesehatan, padahal asuransi kesehatan sangat penting.

Respon YLKI

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) turut mengkritik aturan baru OJK ini. Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, menyatakan bahwa klaim peserta asuransi seharusnya dijamin 100 persen oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen. Ia menambahkan bahwa ketentuan baru ini merugikan peserta asuransi yang sudah terikat kontrak polis.

"YLKI meminta OJK mengkaji ulang aturan pembebanan biaya 10 persen tersebut. Tentu ini berdampak besar terhadap konsumen yang sudah berjalan," ujarnya. Ia juga menyoroti potensi kerancuan atas kontrak polis yang sudah disepakati antara peserta dan pihak asuransi.

"Aturan OJK bisa mengubah proses bisnis di luar kontrak polis. Sebab, konsumen sudah menandatangani kontrak polis di awal asuransi, namun OJK bisa mengeluarkan aturan mengenai kenaikan iuran maupun aturan lain," jelasnya.

Pemangku kepentingan terkait diharapkan dapat duduk bersama untuk mencari solusi terbaik, mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak, baik peserta asuransi, perusahaan asuransi, maupun regulator.