Perubahan Skema Asuransi Kesehatan: OJK Terapkan Co-payment, Respon Nasabah Bervariasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan baru terkait produk asuransi kesehatan yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Aturan ini mewajibkan peserta asuransi untuk menanggung sebagian biaya pengobatan melalui skema co-payment, minimal sebesar 10 persen. Kebijakan ini berlaku baik untuk produk asuransi individu maupun kelompok, dan mencakup asuransi dengan prinsip ganti rugi (indemnity) maupun berbasis pelayanan terkelola (managed care).
Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengendalikan overutilisasi atau penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan, serta menekan laju kenaikan premi asuransi di tengah inflasi biaya medis yang terus meningkat. OJK berharap, dengan adanya co-payment, masyarakat akan lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan, sehingga premi asuransi dapat tetap terjangkau.
Namun, penerapan aturan ini menuai beragam reaksi dari masyarakat. Beberapa nasabah merasa khawatir akan adanya tambahan beban biaya, sementara yang lain memahami rasionalitas di balik kebijakan tersebut.
Keresahan dan Pertanyaan Nasabah
Desi, seorang pekerja swasta di Jakarta, mengungkapkan kebingungannya atas aturan baru ini. Ia baru saja beralih ke asuransi tradisional setelah premi unitlinknya mengalami kenaikan signifikan. Desi mempertanyakan apakah akan ada penyesuaian premi mengingat ia akan menanggung 10 persen dari biaya pengobatan. Ia berharap pihak asuransi dapat memberikan penjelasan yang transparan mengenai dampak aturan ini terhadap polisnya.
Meski demikian, Desi mengakui pentingnya memiliki asuransi swasta, terutama setelah pengalamannya saat anaknya terkena demam berdarah dan membutuhkan perawatan medis segera. Asuransi sangat membantu dalam situasi darurat seperti itu.
Pengalaman Kurang Memuaskan dan Harapan pada BPJS
Berbeda dengan Desi, Sulha, seorang pimpinan perusahaan swasta, memiliki pengalaman kurang menyenangkan dengan asuransi swasta. Setelah klaim asuransinya hanya disetujui sebagian saat anaknya sakit usus buntu, ia memutuskan untuk beralih ke BPJS Kesehatan. Sulha berharap pemerintah dapat meningkatkan kualitas layanan BPJS di rumah sakit agar setara dengan layanan swasta, serta menjaga agar premi asuransi tidak naik secara sewenang-wenang.
Sudut Pandang Agen Asuransi
Wiwin, seorang agen asuransi, berpendapat bahwa skema co-payment sebenarnya tidak memberatkan jika dikomunikasikan dengan baik kepada nasabah. Ia mengibaratkan co-payment dengan own risk pada asuransi mobil, di mana nasabah menanggung sebagian kecil risiko, sehingga premi menjadi lebih terjangkau.
Menurut Wiwin, masalah utama terletak pada literasi keuangan masyarakat yang masih rendah. Jika masyarakat memahami bahwa co-payment merupakan bentuk pembagian risiko yang dapat membuat premi lebih ringan, mereka akan lebih mudah menerima aturan ini.
Pentingnya Sosialisasi dan Transparansi
OJK perlu melakukan sosialisasi yang lebih luas dan transparan mengenai aturan baru ini. Masyarakat perlu memahami tujuan dan manfaat dari co-payment agar tidak merasa dirugikan. Selain itu, perusahaan asuransi juga perlu memberikan penjelasan yang jelas dan komprehensif kepada nasabah mengenai dampak aturan ini terhadap polis mereka.
Dengan pemahaman yang baik dan komunikasi yang efektif, diharapkan aturan baru mengenai co-payment asuransi kesehatan ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mengendalikan biaya medis dan menjaga keberlanjutan sistem asuransi.