Upaya Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka: Rintangan Hukum dan Konstelasi Politik
Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan, dipicu oleh surat yang dilayangkan Forum Purnawirawan Prajurit TNI kepada DPR dan MPR pada Senin, 2 Juni 2025. Surat tersebut, yang ditandatangani oleh sejumlah purnawirawan jenderal, secara resmi mengusulkan proses pemakzulan terhadap Gibran berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Usulan ini langsung memantik reaksi dari berbagai kalangan. Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, menyatakan bahwa proses pemakzulan seorang pemimpin negara bukanlah perkara mudah. Ia menekankan bahwa mekanisme pemakzulan melibatkan serangkaian tahapan panjang yang melibatkan tidak hanya DPR, tetapi juga MPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Proses Pemakzulan Menurut Konstitusi
Berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945, proses pemakzulan presiden atau wakil presiden harus diawali dengan sidang pleno DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga dari jumlah anggota. Selanjutnya, dua pertiga dari peserta sidang pleno tersebut harus menyetujui bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan:
- Pengkhianatan terhadap negara
- Korupsi
- Penyuapan
- Tindak pidana berat lainnya
- Perbuatan tercela
Jika DPR menyetujui adanya indikasi pelanggaran, hasil sidang pleno tersebut kemudian diajukan ke MK. MK akan bertugas untuk menyelidiki dan memutuskan apakah benar telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden. Apabila MK menyatakan bahwa pelanggaran memang terbukti, hasil putusan MK tersebut akan dibawa ke MPR untuk proses pemakzulan lebih lanjut. Di MPR, pemakzulan akan diputuskan melalui Keputusan MPR, dengan syarat sidang pleno diikuti oleh minimal dua pertiga anggota MPR dan disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir.
Tantangan Politik yang Signifikan
Selain kerumitan proses hukum, upaya pemakzulan Gibran juga menghadapi tantangan politik yang signifikan. Ganjar Pranowo, tokoh senior PDI-P, berpendapat bahwa pemakzulan akan sangat sulit terealisasi mengingat dukungan kuat yang dimiliki Gibran dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang mendominasi kursi di DPR. Dengan mayoritas kursi di parlemen dikuasai oleh partai-partai pendukung pemerintah, peluang untuk meloloskan usulan pemakzulan menjadi sangat kecil.
Ganjar juga menyoroti bahwa surat yang dilayangkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI belum menyertakan bukti-bukti konkret yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh Gibran. Menurutnya, bukti-bukti tersebut sangat penting sebagai dasar bagi DPR untuk merespons usulan pemakzulan. Senada dengan Ganjar, pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, menilai bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk memakzulkan Gibran. Ia menekankan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan opini atau tekanan politik, melainkan harus didasarkan pada ketentuan konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Yance menambahkan bahwa Pasal 7A UUD 1945 mengatur secara jelas mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pemakzulan, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Ia mempertanyakan relevansi alasan-alasan tersebut dengan situasi yang dihadapi Gibran saat ini.
Surat Usulan Belum Mendapat Perhatian
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat usulan pemakzulan Gibran dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Ia menjelaskan bahwa surat tersebut masih berada di Sekretariat Jenderal DPR dan DPR saat ini sedang dalam masa reses. Dasco menyatakan bahwa ia belum bisa memberikan tanggapan terhadap usulan tersebut sebelum membaca isi suratnya secara langsung.