Perlindungan Wilayah Adat Suku Boti di NTT Mendesak: Usulan Penetapan 17.000 Hektar Hutan Adat
markdown Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) didorong untuk segera mempercepat proses penetapan hutan adat bagi masyarakat Suku Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Desakan ini muncul dalam pertemuan antara Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Kehutanan, Julmansyah, dengan Gubernur NTT, Melki Laka Lena, di Kupang.
Dalam pertemuan tersebut, Julmansyah menyampaikan apresiasi terhadap kearifan lokal Suku Boti dalam menjaga kelestarian hutan. Ia menekankan pentingnya penetapan hutan adat seluas 17.000 hektar sebagai ruang hidup masyarakat adat yang perlu diproteksi. Penetapan ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan lingkungan dan keberlanjutan budaya Suku Boti.
Julmansyah menjelaskan bahwa Kementerian Kehutanan telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 144 Tahun 2025. Ia berharap pemerintah provinsi dan Kabupaten TTS dapat mendukung percepatan proses penetapan hutan adat melalui peraturan daerah (Perda).
"Suku Boti itu menarik karena punya ruang hidupnya 17.000 hektar, sehingga harus didorong penetapan hutan adat. Kami dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat tetap mendorong itu," ujar Julmansyah.
Lebih lanjut, Julmansyah menjelaskan tentang program pembangunan terencana yang didanai oleh Pemerintah Jerman melalui KFW (Kreditanstalt für Wiederaufbau atau Bank Pembangunan Jerman). Program ini bertujuan untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan perlindungan iklim dan sumber daya alam, serta berkontribusi pada pengentasan kemiskinan masyarakat pedesaan di kawasan hutan.
Program ini berfokus pada empat kabupaten, yaitu Kabupaten Madiun (Jawa Timur), Kabupaten Garut (Jawa Barat), Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Sikka (NTT).
Julmansyah juga menyinggung tentang Perhutanan Sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak, hutan adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan tetap menjaga keseimbangan meningkatkan lingkungan (masyarakat sejahtera, hutan lestari).
Di Kabupaten Sikka, proyek FP-V telah mendukung 24 kelompok perhutanan sosial di 24 desa sejak tahun 2022. Selain itu, Pemerintah Jerman juga memberikan dukungan untuk memfasilitasi percepatan penetapan hutan adat di 19 provinsi, termasuk NTT.
Untuk menetapkan hutan adat, diperlukan Perda yang mengakui kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA). Julmansyah menekankan pentingnya upaya dari Bupati dan Sekretaris Daerah untuk mempercepat proses penetapan hutan adat. "Karena moto kami, hutan sejahtera, masyarakat lestari juga akan dikombinasikan di dalam masyarakat adat," kata dia.
Gubernur NTT Melki Laka Lena mengakui bahwa masyarakat adat merupakan salah satu benteng lingkungan hidup di NTT. Ia juga menyoroti isu lingkungan di NTT yang lebih banyak responsif daripada antisipatif.
"Tugas kita mengedukasi, contohnya edukasi tentang pengelolaan sampah yang baik. Saya senang hati apabila NTT menjadi perhatian. Isu lingkungan banyak disupport oleh lembaga international, sehingga mungkin bisa dibantu program apa yang cocok untuk (diterapkan) di NTT," ujar Melki.
Melki juga menyinggung tentang potensi konflik antara isu kehutanan dan pembangunan, terutama dalam industri pertambangan. Ia menekankan pentingnya penerapan standar operasional prosedur yang baik dalam pertambangan untuk menjaga lingkungan dan melaksanakan mitigasi.