OJK Terbitkan Aturan Baru: Peserta Asuransi Kesehatan Swasta Wajib Tanggung Sebagian Biaya Klaim Mulai 2026
Aturan Baru Asuransi Kesehatan: Co-Payment Mulai Berlaku 2026
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur tentang penyelenggaraan produk asuransi kesehatan. Salah satu poin penting dalam aturan ini adalah kewajiban peserta asuransi kesehatan swasta untuk ikut menanggung sebagian biaya klaim, atau yang disebut co-payment, mulai tanggal 1 Januari 2026. Kebijakan ini sontak menuai berbagai reaksi dari masyarakat.
SEOJK tersebut mewajibkan produk asuransi kesehatan untuk menerapkan skema co-payment, di mana pemegang polis, tertanggung, atau peserta harus menanggung setidaknya 10 persen dari total pengajuan klaim. Namun, terdapat batasan maksimum untuk pembagian risiko ini. Untuk rawat jalan, batasan co-payment adalah Rp 300.000 per pengajuan klaim. Sementara itu, untuk rawat inap, batas maksimumnya adalah Rp 3 juta per pengajuan klaim.
Perusahaan asuransi diberikan waktu untuk menyesuaikan produk mereka paling lambat hingga 31 Desember 2026. Aturan ini diharapkan dapat memberikan dampak signifikan pada industri asuransi kesehatan di Indonesia.
Alasan di Balik Penerapan Co-Payment
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa SEOJK ini diterbitkan untuk mendorong efisiensi dalam biaya kesehatan yang terus meningkat. Inflasi medis yang lebih tinggi dari inflasi umum menjadi perhatian utama. Dengan adanya co-payment, diharapkan biaya kesehatan dapat dikelola lebih baik dan tetap terjangkau melalui skema penjaminan nasional maupun asuransi komersial.
Selain itu, aturan ini juga bertujuan untuk membenahi ekosistem asuransi kesehatan dengan penerapan praktik pengelolaan risiko yang lebih baik. OJK mencatat bahwa rasio klaim untuk produk asuransi kesehatan cukup tinggi, yaitu 51,29 persen, dan 49,97 persen untuk asuransi umum. Penyesuaian tarif premi asuransi kesehatan telah dilakukan perusahaan asuransi sejak awal tahun untuk mengimbangi inflasi medis yang terus meningkat, dengan tujuan menjaga keberlanjutan bisnis di tengah tingginya klaim kesehatan.
SEOJK ini juga mencakup pemanfaatan data digital kesehatan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan medis dan obat. Pembentukan medical advisory board juga menjadi bagian dari aturan ini, yang bertugas memberikan masukan medis terkait layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan. Fitur Coordination of Benefit (COB) dengan layanan kesehatan melalui skema jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan juga diatur dalam SEOJK ini.
Manfaat Co-Payment: Premi Lebih Terjangkau?
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon, menyatakan bahwa co-payment bukan merupakan hal baru dan telah diterapkan di berbagai negara. Ia menjelaskan bahwa kenaikan klaim asuransi kesehatan akan berdampak pada kenaikan premi. Rata-rata kenaikan klaim asuransi kesehatan di beberapa perusahaan mencapai 29 persen.
"Kalau terus naik (klaim) dan kemudian asuransi terpaksa me-review perhitungannya, akan tiba masanya di mana asuransi kesehatan ini mungkin dirasakan berat sekali buat dibeli," kata Budi.
Jika masyarakat hanya mengandalkan BPJS Kesehatan, hal itu juga dapat memberikan tekanan pada sistem tersebut. Oleh karena itu, SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 merupakan langkah strategis OJK dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Budi meyakini bahwa skema co-payment dapat membuat premi asuransi kesehatan lebih terjangkau bagi masyarakat. Meskipun peserta harus membayar sebagian biaya klaim, besaran co-payment telah dibatasi. Ia juga menambahkan bahwa adanya skema co-payment berpotensi menekan kenaikan premi tahunan pada saat jatuh tempo polis.