Kemerosotan Ritel Modern: Mendag Ungkap Tiga Faktor Utama Penyebab Kebangkrutan

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyoroti tiga faktor krusial yang menjadi penyebab utama kemunduran dan kebangkrutan sejumlah peritel modern di Indonesia. Pernyataan ini muncul di tengah gelombang penutupan gerai yang melanda industri ritel, baik secara permanen maupun melalui pengambilalihan oleh entitas bisnis lain.

Menurut Mendag, penyebab pertama adalah ketidakmampuan peritel modern untuk beradaptasi dengan perubahan kebutuhan dan preferensi konsumen. Banyak peritel hanya fokus pada penjualan produk tanpa menawarkan pengalaman berbelanja yang menarik dan relevan. Hal ini membuat mereka kalah bersaing dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang seringkali lebih inovatif dalam menciptakan pengalaman berbelanja yang personal dan unik.

"Diskusi kami dengan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan bahwa ritel modern yang hanya mengandalkan penjualan produk tanpa menawarkan experience atau journey yang menarik akan kesulitan bersaing dengan UMKM," ujar Budi Santoso di Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Faktor kedua adalah perubahan pola belanja masyarakat. Dulu, konsumen cenderung berbelanja bulanan dalam jumlah besar. Kini, mereka lebih memilih berbelanja mingguan atau bahkan harian dengan jumlah yang lebih sedikit. Perubahan ini menyebabkan konsumen lebih memilih berbelanja di gerai ritel yang terdekat dan mudah dijangkau.

"Saat ini, masyarakat lebih sering berbelanja untuk kebutuhan satu atau dua hari saja. Akibatnya, mereka memilih ritel yang paling dekat," jelasnya.

Faktor ketiga yang disoroti Mendag adalah kurangnya kemampuan pusat perbelanjaan atau department store dalam menyediakan hiburan dan pengalaman sosial bagi konsumen. Di era digital ini, konsumen tidak hanya mencari tempat untuk berbelanja, tetapi juga tempat untuk bersantai, makan, dan berkumpul dengan teman dan keluarga. Pusat perbelanjaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan ini akan kehilangan daya tariknya.

"Pusat perbelanjaan yang tidak memiliki tempat makan, tempat nongkrong, atau tempat berkumpul akan sepi pengunjung," tambahnya.

Sebagai catatan, beberapa tahun terakhir menjadi periode yang sulit bagi sejumlah peritel besar di Indonesia. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pengelola jaringan Alfamart, mengakui telah menutup lebih dari 400 gerai sepanjang tahun 2024. Meskipun demikian, Alfamart juga terus melakukan ekspansi dan menambah jumlah gerainya. Sementara itu, penutupan GS Supermarket terjadi karena adanya proses pengambilalihan oleh perusahaan ritel lain. Dengan demikian, gerai-gerai tersebut akan tetap beroperasi, namun dengan merek ritel yang berbeda.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Perubahan Pola Belanja: Konsumen kini cenderung berbelanja mingguan atau harian dengan jumlah yang lebih sedikit.
  • Pengalaman Berbelanja: Ritel modern harus menawarkan pengalaman berbelanja yang menarik dan relevan.
  • Hiburan dan Sosial: Pusat perbelanjaan harus menyediakan hiburan dan tempat berkumpul bagi konsumen.

Industri ritel di Indonesia sedang mengalami transformasi yang signifikan. Peritel yang ingin bertahan dan sukses harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin beragam.