Polemik Pemakzulan Gibran Mencuat, Respon Fraksi DPR Terbelah

Isu mengenai potensi pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat di ranah politik nasional. Hal ini dipicu oleh surat yang dilayangkan oleh Forum Purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR, yang mendesak agar proses impeachment terhadap Gibran segera diinisiasi. Desakan ini muncul sebagai respons terhadap kontroversi seputar pencalonan Gibran, yang dinilai bermasalah secara hukum dan etika.

Reaksi Fraksi di DPR

Menanggapi isu ini, sejumlah fraksi di DPR RI memberikan tanggapan beragam. Sekretaris Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni, menyatakan bahwa proses pemakzulan tidak akan berjalan mudah. Ia mengakui bahwa setiap pihak berhak menyampaikan aspirasi kepada DPR, namun proses administrasi di Kesetjenan DPR akan memilah surat mana yang akan diprioritaskan.

Ketua Fraksi Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, berpendapat bahwa Gibran tidak melakukan tindakan yang dapat menjadi alasan pemakzulan. Meskipun demikian, Fraksi Golkar akan tetap menerima dan mempelajari surat dari Forum Purnawirawan TNI untuk memastikan kesesuaiannya dengan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Daniel Johan, Ketua DPP PKB yang juga anggota Fraksi PKB di DPR, menyatakan bahwa setiap surat yang masuk akan dibahas oleh DPR, termasuk oleh komisi dan fraksi terkait. Namun, ia mengaku belum mengetahui detail permintaan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tersebut.

Sikap MPR

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto (Bambang Pacul), menjelaskan bahwa MPR akan menggelar rapat pimpinan (rapim) untuk membahas surat-surat yang dianggap penting. Namun, hingga saat ini, belum ada informasi mengenai rapim untuk menindaklanjuti surat dari Forum Purnawirawan TNI. Bambang Pacul menegaskan bahwa jadwal rapim menjadi kewenangan Ketua MPR RI, Ahmad Muzani.

Dasar Desakan Pemakzulan

Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyoroti bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai cacat hukum. Mereka berpendapat bahwa putusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran. Forum ini juga mengutip putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik hakim dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK.

Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga menilai Gibran tidak pantas menjabat sebagai Wakil Presiden dari sisi kepatutan dan etika. Mereka menyoroti minimnya pengalaman Gibran yang baru dua tahun menjabat sebagai Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikannya yang diragukan. Forum ini juga menyinggung kontroversi akun media sosial “fufufafa” yang diduga memiliki keterkaitan dengan Gibran dan dinilai mengandung unsur penghinaan dan rasisme.

Prosedur Pemakzulan

Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima surat dari Forum Purnawirawan TNI dan telah meneruskannya ke pimpinan DPR RI. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum membaca surat tersebut.

Proses pemakzulan presiden dan wakil presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. MPR dapat memberhentikan presiden/wakil presiden atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat.

DPR dapat mengajukan usulan pemakzulan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa apakah presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Setelah MK memutuskan bahwa ada pelanggaran hukum, usulan tersebut diteruskan ke MPR untuk dibahas lebih lanjut. Keputusan MPR harus diambil dalam rapat yang dihadiri oleh setidaknya 3/4 anggota dan disetujui oleh 2/3 dari anggota yang hadir.

Meskipun prosedur ini jelas diatur dalam konstitusi, faktor politik tetap memainkan peran penting dalam proses pemakzulan. Dukungan politik yang kuat di DPR dan MPR sangat mempengaruhi hasilnya.