Gelombang Tunawisma Membanjiri Bandara-Bandara di Spanyol: Krisis Perumahan dan Jeratan Kemiskinan
Gelombang tunawisma kini menjadikan bandara-bandara di Spanyol sebagai tempat tinggal sementara, sebuah ironi di tengah modernitas dan mobilitas global. Bandara Internasional Barajas di Madrid menjadi salah satu potret nyata, di mana ratusan orang terpaksa mencari perlindungan dari kerasnya kehidupan di jalanan.
Krisis perumahan yang melanda Spanyol, khususnya di kota-kota besar seperti Madrid, menjadi pemicu utama fenomena ini. Harga sewa properti yang melonjak drastis, tak sebanding dengan penghasilan pekerja berupah rendah, memaksa mereka mencari alternatif hunian yang lebih terjangkau, meskipun tidak layak. Bandara, dengan fasilitas dasar seperti toilet dan tempat berteduh, menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang terdesak.
Victor Fernando Meza, seorang pekerja asal Peru berusia 45 tahun, adalah salah satu dari sekian banyak tunawisma yang menghuni Bandara Barajas. Meskipun memiliki pekerjaan tetap, penghasilannya tidak mencukupi untuk membayar sewa apartemen di Madrid yang terus meroket. Baginya, bandara adalah tempat yang relatif aman dibandingkan tidur di jalanan, meskipun jauh dari kata nyaman.
"Saya hanya ingin dibiarkan sendiri," ungkap Meza, mencerminkan perasaan terasing dan terpinggirkan yang dialami oleh para tunawisma di bandara. Ia berharap dapat diperlakukan dengan layak sebagai manusia, bukan hanya sebagai gangguan atau masalah sosial.
Aturan baru yang melarang orang tanpa tiket pesawat berada di area tertentu bandara setelah pukul 21.00 semakin memperburuk situasi. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk mengurangi jumlah tunawisma yang bermalam di bandara, justru menghilangkan satu-satunya tempat berlindung yang mereka miliki.
"Yang membuat onar itu kan sudah diketahui siapa saja—yang merokok, yang mabuk setiap hari. Harusnya mereka yang dikeluarkan, bukan semuanya," keluh Meza, menyoroti ketidakadilan dalam penerapan aturan tersebut.
Sesekali, Meza mendapatkan pekerjaan sebagai buruh pindahan, berharap dapat menabung untuk menyewa apartemen bersama saudaranya. Namun, impian tersebut terasa semakin jauh dari jangkauan, mengingat mahalnya biaya hidup di Madrid.
Data dari situs properti Idealista menunjukkan bahwa rata-rata biaya sewa apartemen seluas 60 meter persegi di Madrid saat ini mencapai 1.300 euro per bulan, hampir dua kali lipat dari satu dekade lalu. Harga yang sangat memberatkan pekerja berpenghasilan rendah seperti Meza.
Selain kesulitan ekonomi, hidup di bandara juga menimbulkan tekanan psikologis yang berat. Diskriminasi dan stigma sosial menjadi makanan sehari-hari bagi para tunawisma. "Orang-orang memandang rendah kami. Di sini masih banyak rasisme," ujar Meza, mengungkapkan luka batin yang mendalam.
Kasus serupa dialami Zow, seorang pekerja konstruksi berusia 62 tahun asal Mali, yang tinggal di Bandara Barcelona. "Saya tidak suka tidur di sini. Ini menyedihkan, semua orang melihat kami seperti ini," tuturnya, menirukan ekspresi jijik yang sering diterimanya.
Fenomena tunawisma di bandara tidak hanya terjadi di Madrid dan Barcelona, tetapi juga muncul di beberapa bandara lain di Spanyol, seperti Gran Canaria, Malaga, Palma de Mallorca, dan Tenerife, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Survei lembaga amal Katolik pada Maret lalu mencatat sekitar 421 orang menginap di Bandara Madrid, sebagian besar pria. Separuh dari mereka telah tinggal di sana lebih dari enam bulan, dan 38 persen di antaranya memiliki pekerjaan.
Ironisnya, alih-alih mendapatkan solusi konkret, masalah ini justru menjadi ajang saling lempar tanggung jawab antara Aena (operator bandara) dan pemerintah kota Madrid. Aena berdalih bahwa penanganan masalah sosial adalah kewajiban pemerintah kota, sementara Wali Kota Madrid Jose Luis Martinez-Almeida, dari kubu konservatif, menegaskan bahwa Aena adalah tanggung jawab pemerintah pusat.
Pemerintah kota Madrid juga berpendapat bahwa mayoritas penghuni bandara adalah warga asing yang seharusnya ditangani melalui sistem perlindungan internasional Spanyol. Meskipun beberapa langkah mulai diambil, termasuk menyewa konsultan untuk mendata dan memprofilkan para tunawisma di bandara, Meza tetap skeptis terhadap perubahan yang signifikan.
"Kami tidak ingin bantuan. Kami tidak ingin apa-apa. Kami hanya tidak ingin diganggu," pungkasnya, sebuah pernyataan yang mencerminkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka yang paling rentan.
Fenomena ini menjadi ironi di tengah gemerlapnya dunia penerbangan dan pertumbuhan ekonomi, potret buram dari ketimpangan sosial dan kegagalan sistem dalam memberikan perlindungan bagi mereka yang paling membutuhkan. Diperlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi akar masalah tunawisma, termasuk penyediaan perumahan terjangkau, peningkatan lapangan kerja, dan program dukungan sosial yang efektif. Tanpa tindakan nyata, bandara-bandara di Spanyol akan terus menjadi saksi bisu dari krisis kemanusiaan yang terabaikan.
- Tunawisma di bandara
- Krisis perumahan Spanyol
- Kemiskinan perkotaan
- Ketimpangan sosial
- Stigma terhadap tunawisma
- Kebijakan publik yang tidak efektif
- Akses terhadap perumahan terjangkau
- Kondisi kehidupan yang memprihatinkan
- Pekerja berpenghasilan rendah
- Perlindungan sosial yang kurang memadai