Sorotan Tajam Pertambangan Nikel: Desakan Standar Keberlanjutan Menguat Pasca-Protes Aktivis
Gelombang protes aktivis lingkungan terkait pertambangan nikel di Indonesia kembali mencuat, memicu perdebatan sengit tentang perlunya standar keberlanjutan yang lebih ketat. Aksi yang dilakukan oleh sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia dan perwakilan masyarakat Raja Ampat saat Indonesia Critical Minerals Conference 2025 menjadi sorotan utama, menyoroti dampak negatif industri nikel terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
CEO Landscape Indonesia, Agus P Sari, menegaskan bahwa insiden protes tersebut menjadi bukti nyata bahwa standar keberlanjutan dalam pertambangan nikel bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak. Menurutnya, tanpa standar yang jelas dan implementasi yang efektif, kerusakan lingkungan dan kerugian sosial akibat aktivitas pertambangan akan terus berlanjut. Agus menambahkan, dialog konstruktif dengan para pemangku kebijakan sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan pertambangan yang lebih bertanggung jawab dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat di sekitar area tambang.
Aksi Protes dan Dampak Lingkungan
Aksi protes yang dilakukan oleh para aktivis sempat berujung pada penangkapan oleh pihak panitia acara. Namun, para aktivis tersebut kemudian dibebaskan karena tidak ditemukan unsur pidana. Terlepas dari penangkapan tersebut, aksi ini berhasil menyampaikan pesan penting kepada pemerintah dan para pelaku industri nikel tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel di berbagai daerah.
Greenpeace Indonesia menyoroti bahwa industri nikel telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk pembabatan hutan, pencemaran sumber air, sungai, laut, dan udara. Selain itu, penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber energi dalam proses pengolahan nikel juga dinilai memperparah dampak krisis iklim.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan aktivitas pertambangan nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah menghancurkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Kerusakan Ekosistem Raja Ampat
Dokumentasi yang dikumpulkan oleh Greenpeace juga menunjukkan adanya limpasan tanah yang menyebabkan sedimentasi di pesisir, berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem perairan Raja Ampat. Pembabatan hutan dan pengerukan tanah untuk aktivitas pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem yang tak ternilai harganya ini.
Desakan untuk menerapkan standar keberlanjutan yang ketat dalam industri pertambangan nikel semakin menguat. Pemerintah dan para pelaku industri diharapkan dapat mengambil langkah konkret untuk mengurangi dampak negatif aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat, serta memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dikelola secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.