Pasca-Jatuhnya Assad: Pembantaian di Banias dan Tantangan Pemulihan Keamanan Suriah

Pasca-Jatuhnya Assad: Pembantaian di Banias dan Tantangan Pemulihan Keamanan Suriah

Provinsi Latakia dan Tartus, basis pendukung setia mantan Presiden Bashar al-Assad, kini dilanda gelombang kekerasan dan pembalasan yang mengerikan pasca runtuhnya rezim Assad. Ratusan keluarga telah mengungsi meninggalkan rumah mereka, meninggalkan jejak penjarahan dan pembunuhan massal yang mengejutkan. Laporan dari permukiman Hai Al Kusour di kota pesisir Banias mengungkap gambaran yang sangat mencekam. Jalanan dipenuhi mayat-mayat yang berserakan, korban-korban dari berbagai usia, termasuk anak-anak, yang menjadi sasaran kekejaman tak berperikemanusiaan. Kesaksian saksi mata menggambarkan adegan pembantaian yang mengerikan, dengan laki-laki ditembak mati di jalanan, dan keluarga-keluarga dibantai di rumah mereka sendiri.

Salah satu saksi kunci, Ayman Fares, yang baru saja dibebaskan dari penjara setelah penahanan karena mengkritik rezim Assad, melukiskan situasi yang sangat mengerikan. Meskipun selamat berkat pengenalan para penyerbu, rumahnya dijarah habis. Fares mendeskripsikan para pelaku sebagai orang asing, kemungkinan dari Uzbekistan atau Chechnya, yang beraksi bersama beberapa warga Suriah. Ia menyaksikan secara langsung pembunuhan brutal terhadap perempuan dan anak-anak, yang berusaha berlindung di atap rumah mereka tanpa hasil. Fares menambahkan bahwa beberapa warga sipil Suriah juga turut terlibat dalam aksi kekejaman ini, menepis asumsi bahwa pelaku semata-mata berasal dari kelompok asing.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mencatat lebih dari 740 warga sipil tewas di kota-kota pesisir Latakia, Jableh, dan Banias, di samping jatuhnya korban jiwa di kalangan pasukan keamanan dan sisa-sisa rezim Assad. Meskipun angka pasti masih belum terverifikasi secara independen, skala pembantaian tersebut sangat mengkhawatirkan. Kesaksian serupa juga disampaikan oleh warga Banias lainnya, Ali (nama samaran), yang melarikan diri dari rumahnya bersama keluarga di tengah rentetan tembakan dan jeritan. Ali menggambarkan bagaimana para penyerbu menjarah harta benda warga, namun dalam kasusnya, keluarganya luput dari pembunuhan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola serangan, beberapa kelompok fokus pada penjarahan, sementara yang lain melakukan pembunuhan massal.

Konflik ini tampaknya berakar dari pemberontakan mantan brigadir jenderal Assad, Ghiath Dallah, yang membentuk “Dewan Militer untuk Pembebasan Suriah”. Meskipun sebagian besar komunitas Alawi menolak kelompok ini, dan menyalahkan Dallah atas kekerasan yang terjadi, situasi ini menyoroti kerentanan Suriah pasca-jatuhnya rezim Assad. Ribuan mantan petugas keamanan dan pegawai negeri yang kehilangan pekerjaan, di tengah kemiskinan yang meluas, telah menciptakan lingkungan yang sangat rawan terhadap pemberontakan dan kekerasan. Perbedaan pandangan juga terlihat, dengan kecaman atas pembunuhan warga sipil di berbagai demonstrasi di Damaskus, berdampingan dengan seruan jihad di beberapa wilayah.

Presiden sementara, Ahmad al-Sharaa, menghadapi tantangan besar dalam menstabilkan situasi. Ia harus menyeimbangkan upaya menjaga keamanan semua warga Suriah dengan tuntutan untuk menegakkan keadilan atas kejahatan rezim Assad dan menangani kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di luar kendalinya, termasuk pejuang asing dengan agenda radikal. Keberhasilan al-Sharaa dalam membangun Suriah yang aman dan demokratis akan bergantung pada kemampuannya untuk mengakhiri kehadiran pejuang asing, menetapkan konstitusi yang melindungi hak semua warga, dan mengendalikan faksi-faksi garis keras yang bertanggung jawab atas pembantaian di Banias dan wilayah sekitarnya. Tantangan ini tidak hanya berkaitan dengan keamanan fisik, tetapi juga pemulihan kepercayaan dan perdamaian antar kelompok agama di tengah luka mendalam masa lalu.