Perjuangan Melawan Kanker Serviks: Kisah Inspiratif Penyintas dari Amerika Serikat dan Indonesia

Kanker serviks merupakan momok menakutkan bagi kaum wanita. Diagnosis penyakit ini seringkali menjadi pukulan berat, mengingat posisinya sebagai salah satu penyebab utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Namun, vonis kanker serviks bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada harapan dan kesempatan untuk sembuh, seperti yang dialami oleh Lily dan Santi Eka Permana.

Kisah Lily: Mengabaikan Gejala Berujung Penyesalan

Lily, seorang wanita asal Minnesota, Amerika Serikat, didiagnosis menderita kanker serviks pada usia 27 tahun. Setahun sebelumnya, ia mulai merasakan nyeri panggul yang mengganggu tidurnya. Ia juga mengalami perdarahan setelah berhubungan intim. Sayangnya, gejala-gejala ini diabaikan begitu saja. Lily berpikir bahwa sebagai wanita muda berusia 20-an, ia tidak perlu terlalu khawatir dan bisa melewatkan pemeriksaan dokter.

Namun, anggapannya keliru. Gejala yang diabaikannya ternyata merupakan pertanda kanker serviks. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Lily harus menjalani lima sesi kemoterapi dan lima perawatan radiasi. Pengobatan tersebut memberikan efek samping yang berat, dan yang lebih menyakitkan, Lily divonis tidak bisa memiliki anak.

"Saat didiagnosis, saya tidak peduli tentang kesuburan saya, yang saya inginkan hanyalah sehat. Sekarang, di usia 31 tahun, saya hidup dengan penyesalan besar ini setiap hari," ungkap Lily.

Perjuangan Santi Eka Permana: Dari Miom dan Kista Hingga Diagnosis Kanker

Santi Eka Permana, seorang wanita asal Jakarta, Indonesia, didiagnosis menderita kanker serviks pada tahun 2016. Awalnya, ia mengeluhkan nyeri panggul yang menjalar dan juga perdarahan. Setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit, dokter mendiagnosisnya menderita miom dan kista. Ia memilih rawat jalan, namun gejalanya tidak membaik. Karena rasa nyeri yang tak kunjung hilang, Santi memutuskan untuk kembali memeriksakan diri ke dokter untuk menjalani biopsi.

Hasil biopsi menunjukkan adanya tumor ganas di tubuhnya. "Dokter menyatakan saya kena kanker serviks stadium 1B itu tahun 2016. Pada saat dokter menyatakan saya kanker serviks, rasanya hidup saya akan singkat, akan meninggalkan anak-anak, ibu, dan bapak saya," kenangnya.

Dengan dukungan penuh dari keluarga, Santi memberanikan diri menjalani perawatan kanker serviks, termasuk 25 kali radiasi eksternal dan tiga kali radiasi internal hingga tahun 2017. Ia juga harus menjalani operasi pengangkatan rahim.

"Saya bismillah, mungkin dengan rahim saya diangkat saya sehat, saya sembuh," ujarnya.

Setelah menjalani serangkaian pengobatan, Santi akhirnya dinyatakan remisi pada tahun 2018. Ia berharap perjuangannya dapat menjadi inspirasi bagi pasien kanker serviks lainnya. Kisah Lily dan Santi adalah bukti bahwa diagnosis kanker serviks bukanlah akhir dari segalanya. Dengan deteksi dini, pengobatan yang tepat, dan dukungan dari keluarga serta orang-orang terdekat, harapan untuk sembuh selalu ada.