Menaker Serukan Evaluasi Kampanye 'Zero Accident', Fokus pada Pencegahan Fatalitas

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, baru-baru ini menyampaikan pandangan kritis terhadap kampanye "Zero Accident" yang umum diterapkan di berbagai perusahaan. Dalam sebuah forum Human Capital Summit 2025 di Jakarta, Yassierli menyerukan agar prinsip tersebut dievaluasi kembali, dengan alasan bahwa pendekatan ini justru dapat kontraproduktif dan merusak budaya pelaporan insiden di lingkungan kerja.

Menurut Yassierli, penekanan berlebihan pada "Zero Accident" sebagai Key Performance Indicator (KPI) berpotensi menciptakan iklim ketakutan di mana karyawan enggan melaporkan kejadian kecelakaan kerja. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan konsekuensi negatif yang mungkin timbul, mulai dari teguran hingga sanksi. Akibatnya, data kecelakaan kerja menjadi tidak akurat dan perusahaan kehilangan kesempatan untuk belajar dari kesalahan serta meningkatkan sistem keselamatan kerja.

"Jika 'Zero Accident' menjadi KPI, maka atasan sampai ke bawah ketika terjadi kecelakaan semua panik. Akhirnya, melihat bosnya panik, anak buahnya ke depan tidak akan melaporkan kecelakaan apapun," ujar Yassierli.

Yassierli menekankan pentingnya mengubah paradigma keselamatan kerja dari sekadar menghindari kecelakaan menjadi membangun kapasitas dan sistem yang kuat untuk mengidentifikasi, mengelola, dan mencegah potensi bahaya. Ia mengusulkan agar perusahaan lebih fokus pada "Zero Fatality" atau "Zero LTI (Lost Time Injury)" sebagai target yang lebih realistis dan terukur.

"Yang kita bangun adalah safety is the existence of capacity. Kapasitas yang kita bangun dalam sistem kita, sehingga memang kita itu safe," jelas Yassierli.

Ia memberikan ilustrasi sederhana mengenai perbedaan antara rumah yang tidak kemalingan karena sistem keamanan yang baik dengan rumah yang tidak kemalingan karena tidak menarik bagi pencuri. Filosofi ini menekankan bahwa keselamatan yang sesungguhnya dibangun di atas fondasi sistem dan prosedur yang kokoh, bukan hanya sekadar keberuntungan atau ketiadaan insiden.

Yassierli juga menyoroti tantangan lain yang dihadapi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Ia mengakui bahwa isu-isu seperti Upah Minimum Regional (UMR), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan Tunjangan Hari Raya (THR) masih mendominasi agenda kerja Kemenaker setiap tahunnya. Hal ini menyita banyak waktu dan sumber daya, sehingga isu-isu strategis seperti pengembangan kompetensi dan peningkatan keselamatan kerja menjadi kurang mendapatkan perhatian yang memadai.

Yassierli berharap agar di masa depan, Kemenaker dapat lebih fokus pada isu-isu yang lebih fundamental, seperti pengembangan SDM dan peningkatan sistem keselamatan kerja. Ia juga menekankan pentingnya mengubah cara pandang terhadap tenaga kerja, dari sekadar sumber daya (resource) menjadi aset yang berharga dan perlu diinvestasikan. Dengan demikian, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, sehat, dan produktif bagi seluruh karyawan.