Jemaah Islamiyah Tolak Tawaran Al Qaeda untuk Gulingkan Pemerintah Indonesia di Tengah Transisi 1998

Pada masa transisi dari Orde Baru menuju Reformasi 1998, Indonesia berada dalam situasi yang sangat genting. Di tengah ketidakstabilan politik dan sosial yang melanda, kelompok teroris Al Qaeda menawarkan bantuan kepada Jemaah Islamiyah (JI) untuk menggulingkan pemerintah dan mendirikan negara Islam di Indonesia.

Menurut Staf Kadensus Bidang Literasi dan Media, Khoirul Anam, Al Qaeda bahkan telah menyiapkan sekitar 6.000 pasukan terlatih yang sebagian telah memasuki wilayah Indonesia, sementara sisanya ditempatkan di perbatasan. Selain itu, Al Qaeda juga menjanjikan dana yang cukup besar untuk mendukung operasi perebutan kekuasaan tersebut. Tawaran ini disampaikan kepada salah satu tokoh JI, Abu Fatih, yang kemudian melakukan konsultasi dengan para pemimpin senior JI di Sulawesi.

Namun, setelah melalui pertimbangan yang matang, JI menolak tawaran Al Qaeda. Keputusan ini didasari oleh keyakinan bahwa Indonesia tidak boleh dijadikan negara Islam. Penolakan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah JI, yang kemudian memilih untuk kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Alasan di balik keputusan JI untuk membubarkan diri dan kembali bergabung ke NKRI diungkapkan oleh mantan Amir terakhir JI, Para Wijayanto. Menurutnya, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Pertama, JI melakukan evaluasi mendalam terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh anggotanya. Evaluasi ini menggunakan prinsip Pareto, yang mengidentifikasi bahwa 20% anggota JI yang bermasalah bertanggung jawab atas 80% masalah yang dihadapi organisasi.

Salah satu masalah utama yang diidentifikasi adalah kecenderungan anggota JI untuk bersikap ekstrem dan mudah mengkafirkan sesama Muslim di luar kelompok mereka. Paham ini masuk melalui kitab "Al Jami Fi Thalabil Ilmi Syarif" yang memperkenalkan konsep thaghut secara keras. Para menjelaskan bahwa pengkafiran ini berimplikasi pada penghalalan darah, harta, dan kehormatan orang yang dianggap kafir.

Keputusan JI untuk menolak tawaran Al Qaeda dan kembali ke NKRI menunjukkan bahwa tidak semua kelompok radikal memiliki tujuan yang sama. Meskipun memiliki ideologi yang berbeda dari pemerintah, JI pada akhirnya memilih untuk menghormati kedaulatan NKRI dan menolak kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan politik. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk terus mewaspadai potensi ancaman terorisme, namun juga membuka ruang dialog dan pendekatan yang lebih konstruktif dengan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda.