Dedikasi I Nyoman Sukra: Menjaga Kuta Bebas Banjir Melalui Revitalisasi Tukad Mati
Di tengah hiruk pikuk pariwisata Bali, tepatnya di kawasan Kuta, terdapat sebuah sungai bernama Tukad Mati. Pada era 1990-an, sungai ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dipenuhi sampah dan menjadi tempat pembuangan limbah ilegal. Kondisi ini menggugah hati seorang pria bernama I Nyoman Sukra, yang akrab disapa Pak Dolpin, untuk bertindak.
Melihat kondisi sungai yang semakin memburuk, Dolpin meninggalkan bisnisnya di bidang pariwisata dan memfokuskan diri pada upaya revitalisasi Tukad Mati. Pada tahun 2001, ia membentuk kelompok nelayan dan memulai gerakan untuk menormalisasi sungai yang menjadi benteng terakhir dari banjir di kawasan Kuta, Legian, Seminyak, hingga Monangmaning di Denpasar. Baginya, sungai ini sangat penting karena menjadi muara dari sungai-sungai besar yang melintasi Badung dan Denpasar. Aksi nyata Dolpin ini membuahkan hasil nyata, pada tahun 2019 ia mendapatkan penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan.
Terinspirasi dari Ayah dan Filosofi Tri Hita Karana
Kepekaan Dolpin terhadap lingkungan, khususnya sungai, terinspirasi dari ayahnya dan filosofi Tri Hita Karana, ajaran agama Hindu yang menekankan keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam. Bahkan, warga menjulukinya Dolpin karena sejak remaja ia sering menyelamatkan wisatawan yang tenggelam di Pantai Kuta. Namun, sebelum menjadi aktivis lingkungan, Dolpin memastikan keluarganya telah sejahtera secara ekonomi. Baginya, menjadi aktivis lingkungan bukan untuk mencari popularitas atau uang.
Tantangan dan Hasil Nyata
Perjuangan Dolpin tidak selalu berjalan mulus. Ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan dari warga yang mencurigai motivasinya. Namun, Dolpin tidak menyerah. Ia terus menanam mangrove, membersihkan sampah, dan mengadvokasi pentingnya menjaga lingkungan. Usahanya membuahkan hasil. Hutan mangrove di kawasan Tukad Mati semakin luas, menjadi habitat bagi berbagai satwa, dan bebas dari pembalakan liar. Bantaran sungai juga ditanami berbagai pohon yang buahnya digunakan untuk upacara keagamaan.
- Luas hutan mangrove yang diselamatkan mencapai 12 hektare dan kini hampir mendekati 25 hektare.
Dolpin mengakui bahwa Kuta dan sekitarnya masih sering dilanda banjir saat musim hujan. Namun, ia menegaskan bahwa penyebabnya bukan karena sungai Tukad Mati mampet oleh sampah, melainkan karena alih fungsi lahan di area resapan air. Perjuangan Dolpin belum berakhir. Ia terus menyuarakan pentingnya menjaga kebersihan sungai dan kelestarian alam, menginspirasi banyak orang di Bali untuk melakukan hal yang sama.
Kegigihan Dolpin dalam menjaga lingkungan Tukad Mati telah menyelamatkan kawasan Kuta dan sekitarnya dari bencana banjir. Kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk peduli terhadap lingkungan dan melakukan tindakan nyata untuk menjaganya.