Villa Isola Bandung: Kisah Gedung Ikonik dari Raja Media Era Kolonial

Bandung, kota yang dikenal dengan julukan "Paris Van Java", menyimpan banyak bangunan bersejarah dari era kolonial Belanda. Salah satu bangunan ikonik tersebut adalah Villa Isola, yang terletak di kompleks Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Villa bergaya art deco ini dulunya merupakan kediaman Dominique Willem Berretty, seorang tokoh media terkemuka pada masanya.

Berretty, pria kelahiran Yogyakarta dari ayah Italia dan ibu Jawa, memulai pembangunan Villa Isola pada Oktober 1932 dan selesai pada Maret 1933. Peresmiannya berlangsung meriah pada Desember 1933 dengan dihadiri kolega-kolega Berretty dari kalangan media. Pada saat itu, Berretty adalah seorang jurnalis yang sangat berpengaruh.

Jejak Karier Sang Raja Media

Karier Berretty dimulai sebagai wartawan di Bataviaasch Nieuwsblad pada tahun 1910. Melihat lambatnya penyebaran berita melalui telegraf, ia mendirikan Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (ANETA) pada tahun 1917. Melalui ANETA, Berretty mampu menyampaikan informasi lebih cepat berkat pengetahuannya tentang jaringan telegraf global dan penggunaan koresponden.

Pada tahun 1919, Berretty mengakuisisi dua surat kabar pesaing. Namun, pada tahun 1930, ia menghadapi penyelidikan terkait dugaan monopoli informasi dan "penyalahgunaan kekuasaan" yang mencoreng reputasinya.

Villa Isola: Simbol Ketenangan dan Kontroversi

Untuk menenangkan diri dari tekanan yang dihadapi, Berretty membangun Villa Isola, sebuah rumah modern yang menelan biaya setengah juta gulden. Bangunan ini dirancang oleh arsitek C.P. Wolff Schoemaker, yang dikenal sebagai Frank Lloyd Wright dari Hindia Belanda. Nama "Isola" sendiri konon berasal dari filosofi Berretty: M Isollo E Vivo (Saya mengasingkan diri dan saya bertahan hidup).

Sayangnya, Berretty tidak lama menikmati Villa Isola. Ia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Irak pada 20 Desember 1934. Kematiannya memicu berbagai rumor, termasuk dugaan bahwa pesawatnya ditembak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis de Jonge, karena dianggap sebagai mata-mata Jepang dan tidak menyukai monopoli ANETA. Bahkan, ada desas-desus tentang hubungan asmara antara Berretty dan putri de Jonge yang tidak direstui.

Rumor-rumor tersebut dibantah oleh Rahmat Kurnia, penulis buku tentang Villa Isola. Menurut risetnya, tidak ada bukti yang mendukung klaim pesawat ditembak. Kecelakaan tersebut diduga disebabkan oleh badai petir. Kurnia juga menepis rumor tentang hubungan asmara Berretty dengan putri de Jonge sebagai gosip belaka.

Villa Isola Pasca-Berretty

Setelah kematian Berretty, Villa Isola ditempati oleh istri dan anak-anaknya, sementara kepengurusan diambil alih oleh sekretarisnya, Hans Dokkum. Karena dibangun dengan utang, Villa Isola disewakan kepada Rr. J. van Es, pemilik Hotel Homann, pada tahun 1936 dan dijadikan bagian dari hotel tersebut.

Selama Perang Dunia II, bangunan ini sempat dikuasai Belanda, kemudian Jepang, dan berfungsi sebagai markas militer serta Museum Peringatan Perang Jawa.

Pemerintah Indonesia membeli Villa Isola pada tahun 1954 dari keluarga Kofman, anak dan istri pertama Berretty, seharga Rp 1.500.000. Pada 20 Oktober 1954, Menteri PP&K Muhammad Yamin meresmikan Villa Isola sebagai lokasi Perguruan Tinggi Guru (PTPG) Bandung, yang kini menjadi UPI.

Di bawah pengelolaan UPI, Villa Isola berfungsi sebagai gedung rektorat dan tetap mempertahankan keasrian serta nilai historisnya. Dikelilingi pepohonan rindang dan Taman Berretty, Villa Isola menjadi tempat favorit bagi mahasiswa untuk bersantai dan mengerjakan tugas.

Selain itu, Villa Isola juga kerap dikaitkan dengan mitos dan cerita mistis, seperti penampakan anak kecil Belanda yang konon merupakan anak Berretty yang meninggal bunuh diri. Namun, Rahmat Kurnia menegaskan bahwa isu tersebut hanyalah karangan masyarakat.

Saat ini, Villa Isola tetap berdiri megah sebagai saksi bisu sejarah dan simbol arsitektur art deco di Bandung.