Penurunan Surplus Neraca Dagang Indonesia: Faktor Libur Lebaran dan Kebijakan Tarif AS Jadi Sorotan
Merosotnya surplus neraca perdagangan barang Indonesia menjadi perhatian utama pemerintah. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang menyebabkan penurunan signifikan ini, bahkan mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir.
Salah satu penyebab utama adalah penurunan kinerja ekspor. Menurut Santoso, penurunan ini dipicu oleh dua faktor utama: kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan dampak dari libur Lebaran. Libur panjang tersebut menghambat aktivitas ekspor pada awal April, memperburuk situasi yang sudah tertekan oleh ketidakpastian ekonomi global.
"Setelah kami cek di beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam, kami menganalisis bahwa libur Lebaran pada awal April sangat mempengaruhi volume ekspor," ujar Santoso di Kementerian Perdagangan.
Selain faktor internal, kebijakan tarif AS turut memainkan peran penting dalam penurunan ekspor. Santoso menjelaskan bahwa dampak kebijakan ini juga dirasakan oleh negara-negara ASEAN lainnya. Banyak eksportir memilih untuk menunda pengiriman, menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kebijakan perdagangan global.
"Pengaruhnya bagi masing-masing negara sangat besar. Banyak eksportir yang cenderung masih menunggu, tidak hanya untuk ekspor ke Amerika, tetapi juga ke negara lain. Apalagi sekarang belum ada kejelasan terkait negosiasi dagang," lanjutnya.
Di sisi impor, terjadi lonjakan yang signifikan, terutama dari Tiongkok. Meskipun demikian, Santoso belum melihat adanya indikasi bahwa lonjakan impor ini merupakan dampak langsung dari kebijakan tarif AS yang menyebabkan Tiongkok mengalihkan ekspornya ke Indonesia. Ia menekankan bahwa Tiongkok tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai ekspor yang tinggi.
"Perdagangan kita dengan Tiongkok sangat besar. Ekspor kita terbesar juga ke Tiongkok. Memang terjadi fluktuasi, tapi belum ada indikasi peralihan ekspor dari Tiongkok akibat kebijakan AS," jelas Santoso.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 hanya mencapai US$ 160 juta. Tekanan utama berasal dari lonjakan impor, terutama di sektor nonmigas, yang tumbuh hampir 30% secara tahunan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa surplus perdagangan April ditopang oleh ekspor nonmigas senilai US$ 1,51 miliar, sementara neraca perdagangan migas mengalami defisit yang cukup besar, mencapai US$ 1,35 miliar.
"Surplus masih terjadi berkat ekspor bahan bakar mineral, minyak nabati, serta besi dan baja," kata Pudji.
Secara keseluruhan, total ekspor pada April 2025 tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, naik 5,76% dibandingkan April 2024. Sementara itu, nilai impor mencapai US$ 20,59 miliar, melonjak 21,84% dibandingkan April tahun lalu. Impor nonmigas tumbuh tajam 29,86% menjadi US$ 18,07 miliar, sedangkan impor migas justru turun 15,57% menjadi US$ 2,52 miliar.
Tiongkok masih menjadi negara asal impor nonmigas utama, dengan kontribusi 39,48% terhadap total impor nonmigas Indonesia. Impor utama dari Tiongkok meliputi mesin dan peralatan mekanis (US$ 5,81 miliar), mesin dan perlengkapan elektrik (US$ 5,37 miliar), serta kendaraan (US$ 1,41 miliar). Jepang dan Thailand menyusul sebagai negara asal impor nonmigas terbesar kedua dan ketiga, dengan kontribusi masing-masing sebesar 7,72% dan 4,79%.