Dedi Mulyadi Guncang Bogor dengan Orasi Sunda Kuno yang Memukau
Dalam sebuah momen bersejarah, mantan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menghipnotis hadirin Rapat Paripurna DPRD Kota Bogor dengan pidato yang sepenuhnya disampaikan dalam bahasa Sunda Buhun. Orasi yang disampaikan pada peringatan Hari Jadi ke-543 Bogor, Selasa (3/6/2025), itu disambut gegap gempita oleh para peserta dan tamu undangan. Pidato ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah seruan untuk merenungkan akar budaya dan nilai-nilai peradaban Sunda yang luhur.
Dedi Mulyadi menekankan bahwa peringatan hari jadi kota bukan sekadar ritual tahunan. Lebih dari itu, momen ini harus menjadi kesempatan untuk merefleksikan kembali fondasi peradaban Sunda, sebagaimana yang telah ditanamkan sejak era Pakuan Pajajaran. Ia mengupas filosofi "adeg-adeg peradaban Kisunda" yang menjadi landasan hidup masyarakat Tatar Sunda.
"540 tahun lalu, di wilayah ini telah berdiri tegak sebuah peradaban. Sebuah perjalanan yang dipenuhi berkah, menebarkan kasih sayang kepada seluruh aspek kehidupan. Tanah ini bukan hanya milik warga Bogor, tetapi merupakan pusat kekuatan peradaban Sunda," ujarnya dengan penuh semangat.
Dalam orasinya, Dedi Mulyadi menyoroti pentingnya membangun daerah dengan berlandaskan visi dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, bukan hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ia mengingatkan bahwa Sri Baduga Maharaja mendirikan Pakuan bukan dengan APBD, melainkan dengan keyakinan yang kuat. Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh terpaku pada angka-angka anggaran, tetapi harus mampu membangun dengan nilai-nilai kehidupan.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi mengkritisi sistem pendidikan dan pembangunan yang dianggapnya telah menyimpang dari nilai-nilai dasar kehidupan Sunda. Ia menyerukan agar sistem nilai yang bersumber dari "papat kalimah pancer" dan filosofi "cager, bageur, bener, pinter, singer" dihidupkan kembali sebagai fondasi pembangunan.
Ia juga menyinggung berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat, seperti kerusakan lingkungan, hilangnya identitas budaya, dan ketimpangan sosial yang disebabkan oleh kerakusan dan hilangnya arah. Dedi Mulyadi menggambarkan kondisi ini dengan bahasa yang lugas dan menyentuh hati:
"Ciherang tinggal kiruhna, resi leungit ajina, pandita ilang komarana. Pendidikan berbasis duit, hubungan guru jeung murid teh geus robah jadi hubungan pengajar jeung alat. Hartina, urang geus leungit rasa jeung cinta."
(Air jernih hanya menyisakan kekeruhan, resi [pemegang kuasa adat] kehilangan kekuatan, tokoh agama kehilangan cahaya. Pendidikan berbasis uang, hubungan guru dan murid telah berubah menjadi hubungan pengajar dengan alat. Artinya, kita telah kehilangan rasa dan cinta).
Dengan nada prihatin, Dedi Mulyadi mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari pejabat, anggota dewan, tokoh masyarakat, hingga generasi muda, untuk kembali menengok jati diri Tatar Sunda. Ia mengingatkan pentingnya kesadaran akan waktu dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai adat istiadat. Ia juga menekankan pentingnya memahami Pancaniti, konsep pendidikan di Jawa Barat yang terdiri dari lima tahapan:
- Niti Harti: Pengamatan, pemahaman, dan identifikasi masalah atau tujuan.
- Niti Surti: Analisis informasi dan perumusan solusi atau rencana proyek.
- Niti Bukti: Pelaksanaan rencana proyek dan pengumpulan data untuk membuktikan keefektifan solusi.
- Niti Bakti: Evaluasi, pemecahan masalah, dan perbaikan berdasarkan data yang dikumpulkan.
- Niti Sajati: Presentasi dan publikasi hasil pembelajaran.
Dedi Mulyadi mengakhiri pidatonya dengan seruan agar Hari Jadi Bogor dijadikan momentum untuk membangun kembali karakter daerah berdasarkan nilai-nilai luhur Sunda, bukan sekadar mengikuti arus globalisasi tanpa arah yang jelas. Ia menutup orasinya dengan kata-kata yang penuh makna:
"Bogor teh tanah pusaka. Teu kudu dipuja, tapi kudu dimurnikeun dina lampah kahirupan. Urang kudu nyiptakeun peradaban, lain ngan ngagantian jabatan."
(Bogor adalah tanah pusaka. Tidak perlu dipuja, tetapi harus dimurnikan dalam laku kehidupan. Kita harus menciptakan peradaban, bukan hanya mengganti jabatan).