MUI Tegaskan Keabsahan Haji Jemaah Murur: Kemudahan dalam Kondisi Darurat
MUI Tegaskan Keabsahan Haji Jemaah Murur: Kemudahan dalam Kondisi Darurat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh, memberikan penjelasan terkait pelaksanaan murur dalam rangkaian ibadah haji, khususnya saat mabit di Muzdalifah. Penjelasan ini bertujuan untuk menenangkan jemaah haji yang mengikuti skema tersebut, menegaskan bahwa murur tidak mengurangi keabsahan haji mereka, melainkan memberikan kemudahan dalam kondisi tertentu.
Ni'am Sholeh mengapresiasi inovasi yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) dalam penyelenggaraan haji tahun ini, terutama perbaikan dalam skema murur. Menurutnya, esensi dari ibadah haji adalah terlaksananya rukun dan wajib haji secara sempurna, serta diupayakan pula pemenuhan sunnah-sunnahnya. Perbaikan skema murur menjadi salah satu upaya Kemenag untuk memastikan pelaksanaan mabit di Muzdalifah, yang merupakan wajib haji, tetap sesuai dengan ketentuan syariah.
Mustasyar Dini Misi Haji 2025 ini menjelaskan tiga pola pergerakan jemaah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina. Jemaah yang bergerak dari Arafah setelah magrib akan dibawa ke Muzdalifah untuk mabit hingga tengah malam. Kemenag juga melakukan mitigasi jika terjadi kepadatan di Muzdalifah. Jika kepadatan sangat tinggi hingga 10 Zulhijah pukul 01.00 WAS, jemaah yang awalnya tidak termasuk dalam skema murur akan dialihkan ke skema ini, yaitu mabit di atas bus tanpa turun di Muzdalifah.
"Ini bagus sekali. Secara fikih terpenuhi ketentuan keagamaan mabit di Muzdalifah yang merupakan wajib haji," ujar Ni'am, seraya menambahkan bahwa jemaah tidak perlu meragukan keabsahan haji mereka jika mengikuti skema murur. Skema ini justru memberikan kemudahan dalam situasi Muzdalifah yang padat.
Ni'am juga menjelaskan keringanan bagi jemaah dengan uzur syar'i, seperti sakit, lanjut usia, atau petugas haji. Mereka mendapatkan dispensasi atau rukhshah untuk tidak mabit dan tidak membayar dam. Menurutnya, tidak perlu ada upaya melintaskan mereka di Muzdalifah sebelum tengah malam seolah-olah mereka mabit, karena bagi yang memiliki uzur, hal tersebut tidak wajib.
Fatwa MUI terkait murur didasarkan pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Bangka Belitung tahun 2024, yang menetapkan beberapa hal:
- Mabit di Muzdalifah adalah wajib haji.
- Jemaah yang tidak mabit wajib membayar dam.
- Mabit dilakukan dengan bermalam atau menginap di Muzdalifah, memperbanyak talbiyah, zikir, istigfar, doa, membaca Al-Qur'an, dan amal ibadah lainnya, meskipun hanya sesaat setelah tengah malam tanggal 10 Zulhijah.
- Hukum murur dirinci sebagai berikut:
- Jika murur dilakukan setelah tengah malam dengan melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan, maka mabit sah.
- Jika murur dilakukan sebelum tengah malam atau meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka mabit tidak sah dan wajib membayar dam.
- Dalam kondisi uzur syar'i yang menyebabkan keterlambatan perjalanan dari Arafah hingga tidak menemui waktu mabit, maka tidak wajib membayar dam.
Ni'am menegaskan bahwa pola pelaksanaan haji saat ini merupakan hasil evaluasi dan perbaikan dari sebelumnya, sejalan dengan Fatwa MUI.