Polemik Reduksi Ukuran Rumah Subsidi: Ancaman Kelayakan Hunian Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah?

Polemik Reduksi Ukuran Rumah Subsidi: Ancaman Kelayakan Hunian Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah?

Rencana perubahan ukuran rumah subsidi yang tengah digodok oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Draf Keputusan Menteri (Kepmen) PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang beredar luas menjadi sorotan utama, terutama terkait dengan potensi penurunan standar kelayakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Rincian Draf Kepmen dan Kontroversi Ukuran

Draf Kepmen tersebut mengusulkan perubahan signifikan dalam batasan luas tanah dan bangunan untuk rumah subsidi. Luas tanah minimum diusulkan menjadi 25 meter persegi dan maksimum 200 meter persegi, berbeda jauh dari ketentuan sebelumnya dalam Kepmen PUPR 689/KPTS/M/2023 yang menetapkan minimum 60 meter persegi. Sementara itu, luas bangunan minimum diusulkan menjadi 18 meter persegi dan maksimum 36 meter persegi, yang juga lebih kecil dari standar sebelumnya yaitu minimum 21 meter persegi.

Perubahan ini memicu kekhawatiran serius, terutama terkait dengan pemenuhan standar kelayakan hidup. Meskipun draf Kepmen masih dalam tahap konsultasi publik dan memerlukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 untuk implementasi penuh, potensi dampaknya terhadap kualitas hidup MBR menjadi perhatian utama.

Klarifikasi Wamen PKP dan Standar Rumah Rakyat

Wakil Menteri (Wamen) PKP, Fahri, berusaha meredakan kekhawatiran dengan menegaskan bahwa rumah susun maupun rumah tapak akan tetap mengacu pada tipe 36-40 atau memiliki luas 36-40 meter persegi. Penegasan ini bertujuan untuk membantah isu yang beredar mengenai luas bangunan rumah subsidi yang akan direduksi menjadi 18 meter persegi.

Fahri menjelaskan bahwa standar tipe 36 dan 40 merupakan ukuran minimal untuk rumah rakyat, berbeda dengan standar ukuran untuk rumah di kawasan bencana atau rumah darurat yang dibuat dengan ukuran lebih efisien. Ia juga menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait standar rumah masyarakat, serta pertimbangan lembaga seperti Habitat for Humanity yang memiliki standar cukup tinggi.

"Rumah itu kan dibangun kepentingan jangka panjangnya adalah untuk menciptakan keluarga yang sehat. Ada tempat belajar, aman dan seterusnya kan Ada space untuk berdialog antara keluarga dan sebagainya," ujar Fahri. Ia menekankan bahwa konsep rumah rakyat harus layak, besar, dan sehat, berbeda dengan kos-kosan atau rumah transit yang diperuntukkan bagi satu orang.

Kritik Pakar dan Ancaman Standar Kelayakan

Pengamat Sektor Perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menyampaikan kritik keras terhadap rencana penerbitan Kepmen terbaru ini. Ia memperingatkan bahwa perubahan ini dapat memicu gelombang keresahan dan kemarahan publik karena berdampak luas terhadap standar kelayakan hidup masyarakat.

Jehansyah berpendapat bahwa batas minimal luas rumah subsidi yang ada saat ini (60 meter persegi tanah dan 21 meter persegi bangunan) sudah tergolong kecil dan seharusnya diperbesar menjadi minimal 90 meter persegi tanah dan 36 meter persegi bangunan. Ia menilai bahwa penurunan ukuran menjadi minimal 25 meter persegi untuk tanah dan 18 meter persegi untuk bangunan akan semakin tidak layak dan tidak manusiawi.

"Untuk rumah tipe 36 (36 meter persegi bangunan) dengan empat anggota keluarga, standar ini masih terpenuhi. Namun, jika luas bangunan hanya 18 meter persegi, artinya setiap orang hanya mendapatkan 4,5 meter persegi. Itu sangat tidak manusiawi," tegas Jehansyah. Ia mengingatkan bahwa rumah subsidi adalah program serius pemerintah yang merupakan simbol kesejahteraan rakyat. Jika hunian yang disediakan tidak layak dan tidak manusiawi, hal ini justru akan mempermalukan bangsa di mata dunia internasional.

Implikasi dan Urgensi Evaluasi

Polemik mengenai ukuran rumah subsidi ini menyoroti pentingnya evaluasi mendalam terhadap standar kelayakan hunian bagi MBR. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kebutuhan ruang, kesehatan, dan kesejahteraan keluarga, sebelum memutuskan perubahan kebijakan terkait ukuran rumah subsidi. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kepentingan jangka panjang masyarakat dan memastikan bahwa program rumah subsidi benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup rakyat Indonesia.