Praperadilan Hasto Kristiyanto Gugur: Strategi KPK dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan

Praperadilan Hasto Kristiyanto Gugur: Strategi KPK dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin, 10 Maret 2025, memutuskan untuk menggugurkan gugatan praperadilan yang diajukan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gugatan tersebut terkait penetapan Hasto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku, mantan calon anggota legislatif PDI-P. Keputusan hakim tunggal, Afrizal Hady, diambil setelah KPK melimpahkan berkas perkara Hasto ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat, 7 Maret 2025, beberapa hari sebelum sidang lanjutan praperadilan yang dijadwalkan.

Langkah KPK ini menimbulkan kontroversi. Pihak Hasto, melalui kuasa hukumnya Ronny Talapessy dan Maqdir Ismail, menganggap tindakan tersebut sebagai upaya untuk menggagalkan proses praperadilan dan menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap proses hukum. Mereka menilai KPK tidak hadir dalam sidang perdana praperadilan pada 3 Maret 2025, dan kemudian melimpahkan berkas perkara sebagai taktik untuk menggugurkan gugatan. Dalam persidangan, Biro Hukum KPK yang diwakili Iskandar Mawanto, berargumen bahwa penundaan sidang dan pelimpahan berkas sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim Afrizal, setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2021 yang menyatakan gugurnya perkara tindak pidana setelah berkas dilimpahkan ke pengadilan, akhirnya memutuskan gugatan praperadilan Hasto gugur. Hakim mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015 tentang batasan waktu praperadilan.

Putusan ini memiliki implikasi yang luas terhadap sistem peradilan di Indonesia. Perdebatan hukum yang muncul seputar tindakan KPK menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana penegakan hukum yang adil dapat dijalankan, khususnya dalam konteks praperadilan yang bertujuan untuk mengadili proses penegakan hukum itu sendiri. Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, secara blak-blakan menyatakan bahwa pengadilan telah membenarkan “iktikad buruk” KPK. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang dan kemungkinan tergerusnya prinsip keadilan dan kepastian hukum. Meskipun KPK berargumen berdasarkan hukum, langkah mereka memicu perdebatan mengenai etika dan penafsiran hukum yang idealnya sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menandai dimulainya proses persidangan pokok perkara. Sidang perdana kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan (obstruction of justice) Harun Masiku dengan terdakwa Hasto Kristiyanto dijadwalkan pada Jumat, 14 Maret 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 36/Pid.Sus.TPK/2025/PN Jkt.Pst. Proses persidangan ini akan menjadi babak baru dalam kasus yang telah memicu kontroversi dan sorotan publik terhadap KPK dan sistem peradilan Indonesia. Bagaimana pengadilan akan menyikapi argumen-argumen hukum yang diajukan oleh kedua belah pihak dan apakah keadilan akan ditegakkan, akan menjadi fokus perhatian publik selanjutnya.

Secara keseluruhan, kasus ini menyoroti kompleksitas sistem hukum Indonesia dan pentingnya menjaga integritas dan independensi lembaga penegak hukum. Bagaimana putusan ini akan diinterpretasi dan apakah akan ada upaya hukum lanjutan akan menjadi pengamatan penting bagi perkembangan sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.