Menakar Keadilan dari Sepanci Sayur Sop: Refleksi Ketimpangan di Indonesia

Masa kecil seringkali dipenuhi mimpi sederhana. Mimpi tentang hadiah undian yang terpampang di poster toko kelontong, menawarkan mobil, motor, dan kemewahan lain yang terasa jauh dari jangkauan. Harapan membuncah, apalagi ketika menyadari bahwa tutup botol minuman ringan yang dibuang begitu saja bisa menjadi tiket menuju impian itu. Bagi seorang anak SD, hadiah motor bukan sekadar keinginan, melainkan harapan agar sang ayah tak perlu lagi lelah mengayuh sepeda.

Sepeda itu bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol perjuangan seorang ayah untuk pendidikan anak laki-lakinya. Di kota kecil, sekolah favorit menjadi dambaan, namun tak semua memiliki kesempatan yang sama. Ayah berpesan, hanya tiga faktor yang menentukan: kekayaan, jabatan, atau kerja keras. Sang anak hanya memiliki satu, menyadarkan bahwa hidup adalah perjuangan, bukan hak istimewa.

Privilese menjelma jurang pemisah, membatasi akses pendidikan bagi mereka yang kurang beruntung. Meski berhasil masuk SMP favorit berkat nilai yang memuaskan, realita ketimpangan tetap terasa. Perbedaan mencolok antara siswa yang diantar mobil mewah dengan sopir pribadi, dan dirinya yang harus berdesakan di angkutan umum, menjadi pelajaran tentang ketidaksetaraan.

Ketimpangan bukan sekadar jurang tanpa dasar, melainkan masalah kompleks yang dapat diukur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan rasio Gini, indikator ketidakmerataan distribusi pendapatan. Dengan rasio 0,381, gambaran sederhananya adalah sebagian kecil orang menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar lainnya hanya menikmati sisanya.

Refleksi tentang ketimpangan ini membawa ingatan pada sepanci sayur sop buatan ibu. Dalam kesederhanaan hidangan itu, tersembunyi filosofi keadilan. Dua atau tiga butir bakso curah diiris tipis-tipis, memastikan setiap anggota keluarga mendapat jatah yang sama. Rasio Gini 0 ala ibu, di mana setiap orang mendapat bagian yang setara, sebuah upaya sederhana untuk menanamkan nilai kesetaraan di tengah keterbatasan.

Namun, keadilan tidak selalu berarti sama rata. Terkadang, jatah lebih diberikan kepada yang membutuhkan, misalnya saat salah satu anak sakit. Keadilan adalah tentang proporsionalitas, bukan kesamarataan. Dengan prinsip itu, ibu berhasil membesarkan keempat anaknya hingga meraih gelar sarjana.

Pesan klise orang tua, "Sekolah yang rajin biar jadi orang," adalah motivasi untuk memperbaiki nasib, agar tidak mengalami kesulitan yang sama. Ketimpangan dipengaruhi banyak faktor, mulai dari pertumbuhan ekonomi hingga akses pendidikan. Pemerintah berupaya menanggulangi ketimpangan melalui berbagai kebijakan, dari bantuan sosial hingga peningkatan akses pendidikan.

Kisah tentang undian berhadiah, sepeda ayah, dan sepanci sayur sop adalah refleksi tentang ketimpangan di Indonesia. Harapan tetap ada, namun perjuangan dan proses adalah kunci untuk mewujudkan impian. Semoga negara pun bergerak maju, mengurangi jurang ketimpangan dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara.